Bumi Manusia, sebuah novel dari
penulis Pramoedya Ananta Toer. Pada tahun 1980, Bumi Manusia kali pertama
terbit di penerbit Hasta Mitra. Melihat jejak sejarah yang tercatat dalam
sampul buku, tercetak bahwa pada tahun tersebut, novel ini sudah dicetak
sebanyak sembilan kali. Sangat fantastik, bukan? Pada tahun-tahun sebelumnya,
tercatat novel Bumi Manusia diterbitkan oleh penerbit-penerbit luar negeri,
seperti Manus Amici – Amsterdam, Beijing Da Xue – Beijing, Dou Shi Chu Ban
Selangor- Malaysia, dan beberapa penerbit dari negara lainnya. Hingga, pada
tahun 2005 kembali diterbitkan penerbit Indonesia, Lentera Dipantara.
Sebagai seorang penulis yang
begitu lekat dengan nama-nama penerbit, saya sama sekali tidak tahu ada
penerbit bernama Lentera Dipantara, apalagi penerbit tersebut sudah ada sejak
tahun 2005. Saya baru mengetahuinya, ketika tahun ini – 2019 – saya membeli
novel Bumi Manusia cetakan ke-29 2018.
Kalau dikatakan, saya sangat
terlambat membaca novel yang hendak diadaptasi ke layar lebar ini, memang benar
sekali. Saya bahkan baru mendengar mengenai Bumi Manusia tahun lalu, ketika
mantan kekasih membicarakan mengenai buku-buku sejarah dan dia berminat
membeli. Dan, pada tahun ini, sebelum film Bumi Manusia tayang Bulan Agustus
nanti, saya ingin membacanya.
Berawal dari saya membagikan trailer Bumi Manusia, seorang teman
berkomentar, “Biasanya Hanung membuat film ending-nya
berbeda, dengan novel. Mending baca novelnya dulu.”Oke, akhirnya saya membeli
novel Bumi Manusia.
Saya pikir, novel dengan latar
belakang tahun-tahun lampau, akan membosankan dan membuat saya berpikir keras
dan akhirnya novel tersebut akan saya geletakan begitu saja. Pada kenyataannya,
tidak. Saya membacanya sampai habis, dalam kurun waktu satu Minggu – waktu
standar saya untuk membaca novel setebal 535 halaman.
Sebelum membaca artikel ini lebih lanjut, lebih baik baca novel Bumi
Manusia terlebih dahulu, karena pada artikel ini saya tidak berusaha menutupi
apa pun. Kalaupun nantinya akan muncul spoiler-spoiler,
itu murni yang terlintas dalam pikiran saya.
Nampaknya, kenapa saya bisa
membaca novel ini sampai tuntas, pun didasari karena kesukaan saya akan novel
roman klasik. Beberapa novel roman klasik yang saya baca dan saya tonton ialah
karya-karya Jane Austen dan ada pula novel The Great Gatsby. Pada kenyataannya,
saya pun menyukai Bumi Manusia, yang merupakan roman klasik-nya Indonesia atau
apabila menganut kurun waktu pada Bumi manusia, Hindia.
Sejarah Bumi Manusia
dan Pramoedya Ananta Toer
Sebelum memasukki lebih dalam isi
buku, pada halaman pertama novel Bumi Manusia, dijabarkan mengenai sejarah
lahirnya empat buku fenomenal ini. Buku yang lahir dalam tekanan dan
terkungkungnya sang penulis.
Pramoedya Ananta Toer,
menghabiskan hampir seluruh hidupnya dalam penjara. Ditangkapnya ia, atas
tuduhan terlibatnya dalam aksi G30s PKI, namun akhirnya tak terbukti dan
dibebaskan pada tahun 1979. Meskipun begitu, ia tetap menjadi tahanan rumah,
tahanan kota dan tahanan negara.
Baginya, menulis adalah tugas pribadi dan nasional. Dan ia konsekuen
terhadap semua akibat ia peroleh. Berkali-kali karyanya dilarang dan dibakar.
(Bumi Manusia, hal. 1)
Di mana seseorang terkekang,
terpenjara, pikirannya akan menciut dan hidup dalam ketakutan. Pada
kenyataannya, Pramoedya Ananta Toer tidak demikian. Tubuh beserta ruang
geraknya terpenjara, akan tetapi pikirannya bebas. Penanya terus bergerak,
seiring berjalan pikirannya dan waktu.
Intrik Politik pada
Novel Bumi Manusia, Begitu Dekat Dengan Kita
Novel ini bukan sekadar rekaan
belaka, melainkan terselipnya fakta-fakta yang sangat familier. Pada salah satu
halaman, ketika Nyai Ontosoroh menceritakan mengenai kisah hidupnya kepada
Annelies – anaknya – pada malam hari. Ia bercerita mengenai ayahnya, yang
menjadi jurutulis. Di mana pada masa itu, menjadi jurutulis adalah hal yang
bersifat tinggi. Pada bagian tersebut, saya mengingat mengenai cerita Mbah Kung
dari Bapak.
Mbah Kung, dulunya seorang buruh
pabrik, hendak diangkat jabatannya lebih tinggi. Sayangnya, Mbah Kung tak bisa
baca tulis. Akhirnya, Mbah Kung tidak jadi naik jabatan dan pulang dengan wajah
tertekuk. Kisah kecil ini, memberikan gambaran bahwa cerita dalam Bumi Manusia
benar-benar berkaitan dengan masa yang telah lampau. Menunjukkan, betapa
tingginya nilai orang yang bisa baca tulis.
Di lain cerita, mengenai Minke
dan Nyai Ontosoroh yang melawan hukum kulit putih. Mereka tak bisa berbuat
banyak, lantaran mereka seorang pribumi. Hasutan dan keputusan-keputusan yang
tidak bisa mereka hindari. Mereka harus kehilang harta dan orang yang
disayangi, oleh hukum kulit putih. Tak punya kuasa apa-apa. Meskipun, Minke
sudah berusaha dengan penanya, menulis ke berbagai media cetak untuk
mendapatkan dukungan. Kenyataannya, tetap tak ada hasil. Meskipun, sempat
mendapatkan pembelaan dari orang-orang Madura yang dipimpin oleh Darsam.
Tentunya, kisah tersebut masih
ada sampai saat ini. Banyak hasutan-hasutan – sekarang di media sosial –, demi
mendapatkan apa yang diinginkan. Orang yang tak bersalah, menjadi bersalah.
Orang yang jelas-jelas bersalah, justru bebas berkeliaran. Begitulah.
Pada masa itu, pribumi tak
memiliki kuasa penuh. Bahkan, ketika Minke mengucapkan namanya, tanpa nama
belakang; seperti sebuah aib. Awalnya, saya tidak paham kenapa. Ternyata, bagi
orang Eropa memiliki nama belakang adalah sebuah kehormatan, sesuatu hal yang
penting.
Seperti yang
Sudah-Sudah, Perempuan Tak Memiliki Kuasa Lebih
Dalam novel ini pun, dikisahkan
perempuan tak memiliki kuasa apa-apa atas kehidupannya. Seperti sebelum saya
membaca novel ini, saya membaca novel Putri Rajapatni karya Putu Felisia, yang
mengangkat kisah roman kerajaan Majapahit. Dalam kerajaan, putri-putri hanya
dijadikan “jual-beli” urusan politik. Mereka tak bisa menentukan masa depan
mereka sendiri. Begitu pula pada Bumi Manusia, pergundikan terjadi dan dialami
oleh Nyai Ontosoroh – sebutan “Nyai” pada zaman itu, merupakan sebutan untuk
istri tidak sah atau gundik.
Banyak alasan terjadinya
pergundikan. Pada kasus di Bumi Manusia, Nyai Ontosoroh menjadi gundik lantaran
dijual oleh ayahnya sendiri. Sampai dia memiliki dua anak, hasil dari
perkawinan tidak sah tersebut. Inilah dasar kenapa Nyai Ontosoroh tidak memiliki
hak apa-apa, atas apa yang diperjuangkannya selama ini, bahkan tak memiliki hak
atas anaknya sendiri.
Sudah pribumi, gundik pula ~
Pramoedya Ananta Toer
Menulis Begitu Detail
Detail di sini bukan mengenai
letak buku di mana, lemari di mana, dan mengenai benda-benda seperti apa.
Berbeda dengan cara menulis novel yang saya pelajari selama ini, Pramoedya
Ananta Toer menuliskan kejadian dengan detail. Suatu masalah dikuliti secara
perlahan, sehingga pembaca terbawa emosi. Seakan-akan, saya tersedot dalam
tinta-tinta dalam setiap kata yang dibuatnya.
Ada salah satu bagian yang
diceritakan begitu rinci, untuk mendukung kejadian lainnya. Yang sebenarnya,
pada bagian tersebut tak diceritakan pun, pembaca akan tahu. Kalau kata editor sekarang, bagian tersebut tak
perlu. Memenuhi halaman buku saja. Namun, saya tetap membacanya dan
menikmatinya.
Ada salah satu bagian yang
membuat saya terkejut. Mengenai kisah Annelies. Pramoedya Ananta Toer
benar-benar berani dalam memilih suatu kejadian. Nasib untuk tokohnya, membuat
saya bergidik, ketika membaca bagian tersebut.
Saya heran, kenapa novel ini begitu banyak salah tulis? Banyak ejaan yang salah. Untuk novel yang sudah dicetak berkali-kali, tidak mungkin kan, tidak dikoreksi kembali? Tapi, saya mengira, novel ini dibiarkan apa adanya sejak pertama kali ia ditulis. Agar tetap terjaga "keasliannya". Namun, karena saya suka memperhatikan satu kata ke kata yang lain - untuk belajar ejaan yang benar - mau tak mau, sedikit menganggu.
Saya heran, kenapa novel ini begitu banyak salah tulis? Banyak ejaan yang salah. Untuk novel yang sudah dicetak berkali-kali, tidak mungkin kan, tidak dikoreksi kembali? Tapi, saya mengira, novel ini dibiarkan apa adanya sejak pertama kali ia ditulis. Agar tetap terjaga "keasliannya". Namun, karena saya suka memperhatikan satu kata ke kata yang lain - untuk belajar ejaan yang benar - mau tak mau, sedikit menganggu.
Saya ingin menceritakan lebih
lanjut mengenai novel Bumi Manusia, akan tetapi lebih enak kalau dijadikan dua
postingan saja, hehe. Selanjutnya, saya akan membahas mengenai karakter dari
tiga tokoh utama; Minke, Nyai Ontosoroh, dan Annelies. Saya juga akan
menuliskan, alasan kenapa Iqbal Ramadhan bisa dipilih memerankan Minke.
Tabik,
Wulan K.
0 Comments:
Post a Comment
Komentar akan dimoderasi terlebih dahulu. Hanya memastikan semuanya terbaca :)
Usahakan berkomentar dengan Name/URL ya, biar bisa langsung BW balik saya ^^