“Dulu memang aku
punya peta nikah denganmu, tapi maaf sekarang sudah tidak” ucapan itu masih
terngiang sampai sekarang. Kalimat yang diucapkan dengan penuh keyakinan oleh
lelaki itu. Begitulah jodoh, selalu menjadi misteri bagi siapapun. Ketika kita
sudah yakin seseorang menjadi pasangan hidup kita, ternyata ALLAH punya rencana
lain. Hubungan yang terjalin bertahun-tahun kandas begitu saja. Namun
sebaliknya, orang yang saat ini masih asing buat kita bisa jadi seminggu lagi
menjadi pasangan hidup kita. Setidaknya itulah yang terjadi kepadaku.
Bertahun-tahun memiliki perasaan dengan seseorang yang aku yakini bakal menjadi
suamiku, tapi kenyataan berkata lain. Dia tak lagi menginginkanku menjadi
istrinya. Padahal aku sudah sangat yakin dia memiliki perasaan yang sama
denganku. Kita sudah berteman bertahun-tahun. Hanya selama ini tak ada yang mampu
mengungkap isi hati masing-masing.
Penolakannya
membuatku sempat linglung. Harus dibawa kemana hati yang telah terlanjut
terukir namanya. Aku terlalu angkuh dengan keyakinanku bakal menikah dengannya.
Aku lupa bukan aku yang menentukan siapa jodohku. Aku benar-benar terpuruk
hingga perlahan waktu mengobati luka hatiku. Aku mulai bangkit dan membuka hati
kembali. Memberi peluang kepada siapapun yang ingin menikah denganku. Saat itu
umurku masih 20 tahun tapi aku ingin segera menikah. Akhirnya ada beberapa lelaki
yang serius ingin menikah denganku. Tapi saat aku ajukan profil mereka kepada
bapak ibu, selalu ditolak dengan alasan yang saat itu tidak aku pahami. Sebagai
anak yang ingin patuh kepada orang tua, aku dengan berat hati memutus hubungan
dengan mereka. Padahal mereka juga sudah memenuhi kriteria sebagai imam buatku.
Saat itu aku hanya punya keyakinan, orang tua pasti ingin yang terbaik untuk anaknya, dan ridho mereka adalah
segalanya bagiku.
Waktu terus
berjalan seperti biasa. Pelan-pelan aku menata hatiku kembali. Hingga akhirnya
aku bisa dekat lagi dengan seseorang. Dia lelaki kalem, satu tingkat usianya di
atasku. Aku mengenalnya saat masih aktif di sebuah organisasi. Saat itu aku dan
dia berada di kereta yang sama dalam perjalanan ke Surabaya. Setiap hari kita
berkomunikasi lewat telpon dan sms. Kala itu belum berkembang sosmed seperti
sekarang. Semakin hari aku semakin dekat dengannya. Bahkan aku juga dekat
dengan adiknya. Ketika berkunjung ke kos-kosan si adik, ia memperkenalkanku ke
teman-teman kosnya sebagai “mbak iparnya.” Lelaki kalem ini jika aku ajukan ke
bapak ibu pasti mereka langsung setuju karena memenuhi kriteria mereka, yaitu
berasal dari suku jawa sama sepertiku. Tapi aku belum berani mengajukan si
cowok cakep ini kepada orang tua. Karena dia belum pernah mengatakan ingin
menikah denganku. Aku sendiri juga enggan bertanya karena tak ingin mengulang
“sakit” yang sama. Kali ini aku akan sabar menunggu pernyataan darinya. Meski
dalam sabarku terselip rasa was-was. Dia yang saat itu sedang ditugaskan di luar pulau berpotensi
bertemu dengan gadis-gadis di sana yang lebih sempurna dariku. Karir yang mapan
dan wajah yang rupawan tak mungkin tak ada cewek yang mendekati.
Aku sibuk dengan
prasangkaku sendiri. Bertanya-tanya sampai kapan aku menunggu sebuah kepastian.
Bagaimana jika ia seperti lelakiku dulu, yang berubah pikiran tak punya peta
nikah denganku lagi? Penantianku bakal sia-sia. Hati yang gelisah ditambah
intensitas komunikasi yang kurang karena kesibukannya, membuat semakin tidak jelas
mau dibawa kemana hubunganku dengannya. Sedangkan impianku adalah menikah muda
seperti ibuku. Artinya aku harus segera punya calon suami. Di tengah
kebimbanganku, Allah punya skenario yang tak pernah aku bayangkan. Suatu hari di
kota pahlawan tempatku menuntut ilmu, aku bertemu kembali dengan cinta
pertamaku. Lelaki yang pernah menolakku. Lelaki yang mengatakan tak punya peta
menikah denganku. Lelaki yang baru putus dengan kekasihnya itu tiba-tiba
mengajakku menikah. Ia ingin bertemu dengan kedua orang tuaku. Ia mengatakan
tak mudah mengingkari kata hati. Hatinya selalu ingin membangun istana bernama
pernikahan bersamaku sejak pertama kali bertemu denganku. Padahal kita pertama
kali bertemu di forum organisasi regional saat aku masih duduk dibangku SMP dan
dia masih kelas 3 SMK. Selama itukah ia memendam rasa kepadaku? Hingga baru
terucap ketika aku kuliah?
Lagi-lagi aku
bimbang. Haruskah aku menunggu kabar yang tak pasti dari lelaki sebrang pulau?
Atau aku menerima lamaran lelaki di depanku? Lelaki yang sudah pasti ingin
menjadikanku istrinya. Lelaki yang berani datang ke rumah menemui orang tuaku bersama rombongan
keluarganya. Lelaki yang memenuhi kriteria bapak karena bapak yakin dia bisa
menjadi imamku dan juga memenuhi kriteria
ibu sebagai anak orang Jawa. Tidak ada alasan untuk menolak lamarannya saat itu. Akhirnya
aku menerima dia kembali. Akad nikahpun dilaksanakan hanya seminggu setelah
proses lamaran. Akhirnya aku menikah dengannya, lelaki yang pernah menolakku.
Lelaki yang dengan angkuh mengatakan tak punya peta nikah denganku. Kini, aku
sudah membangun “istana” bersamanya selama 10 tahun. Tepatnya Agustus nanti
usia pernikahan kita genap 10 tahun. Pernikahan kita semakin sempurna dengan
hadirnya dua bocah Agha dan Gia.
Artikel Oleh:
dekCrayon Tata
0 Comments:
Post a Comment
Komentar akan dimoderasi terlebih dahulu. Hanya memastikan semuanya terbaca :)
Usahakan berkomentar dengan Name/URL ya, biar bisa langsung BW balik saya ^^