Kalau ditanya, “Lebih suka menjadi penulis atau fotografer?”
Saya akan menjawab, “Penulis.”
Profesi seorang fotografer dengan
ke mana-mana menenteng kamera, mengangkat mirrorless
tinggi-tinggi menjadi suatu kebanggaan tersendiri. Meskipun, kita tak pernah
tahu itu mirrorless hanya sekadar
pajangan atau memang benar-benar terpakai. Saya, yang mempunyai Etro hampir dua
tahun bahkan belum tahu dengan benar Etro seperti apa, saya adalah photographer auto yang selalu memakai mode auto dalam setiap jepretannya. So what?
Jika sebelumnya saya bercerita
akhirnya saya tidak freelance lagi,
sekarang saya mau katakan per tanggal 20 Januari lalu, saya resmi resign dari salah satu situs direktori
makanan di Surabaya. Saya bekerja secara freelance
selama tiga bulan dan tetap selama satu bulan. Bisa dibilang, saya menjadi food photoghraper selama 4 bulan. Dan,
saya berharap selama itu sudah lebih dari cukup untuk menambah skill memotret saya. Sayangnya, sampai
saat ini saya belum menemukan feel
memotret dalam kuliner.
Saya tidak tahu mengapa.
Apakah saya berhenti memotret?
Tentu tidak. Selama saya masih punya kamera, selama saya masih mempunyai Etro,
saya akan terus memotret. Ada tidaknya feel
di dalamnya, saya akan terus mengasah apa yang memang sudah saya pilih. Tentu
saja, yang paling utama adalah dalam dunia tulis menulis, terutama dunia fiksi.
Saya berangkat dari menulis
fiksi, menulis puisi, cerpen, flash
fiction, dan novel. Wulan Kenanga, lebih ingin dikenal sebagai penulis
fiksi, bukan fotografer maupun blogger. Semua hal yang saya lakukan saat ini,
menulis artikel, belajar memotret tak lebih adalah jalan yang saya tempuh untuk
mencapai apa yang saya inginkan, yaitu menjadi novelis.
Ada beberapa naskah saya yang
terbengkalai di dalam hardisk
komputer jinjing yang saya miliki. Beberapa sudah pernah ditolak penerbit,
beberapa sudah saya masukkan di Wattpad
dan beberapa masih dalam angan-angan. Bahkan, dua tahun lalu salah satu editor
penerbit ternama menghubungi saya bahwa saya ditantang untuk mengembangkan
salah satu cerita pendek di blog, untuk dijadikan novel. Sampai saat ini,
naskah tersebut hanya berupa Prolog.
Kenapa begitu? Kebetulan cerita pendek yang saya tulis tersebut dari kisah
nyata dan saya kesusahan memilah mana kisah yang pantas saya tulis dan mana
tidak.
Saya kesulitan membedakan mana
kenyataan dan mana fiksi.
Menulis dan memotret merupakan
dua hal yang berbeda, namun dalam tujuan yang sama; mengabadikan. Keduanya
saling berhubungan satu sama lain dan masing-masing bisa berdiri sendiri. Sebuah
foto pun bisa bercerita sendiri begitu pula dengan sebuah tuisan. Dua hal yang
sulit dipisahkan, namun keduanya bisa terpisah.
Ketika ngeblog pun, sebuah artikel
tanpa foto akan terasa kurang pas. Namun, bukan berarti artikel tersebut tidak
bisa bercerita tanpa adanya foto. Itulah sebabnya, saya belajar memotret
meskipun waktu itu hanya bermodalkan kamera Blackberry,
kemudian beralih ke kamera saku sampai akhirnya saya memiliki Etro. Kehadiran
Etro inilah yang menjadi pemicu utama, kenapa saya harus belajar memotret. Toh,
memang saya mengadopsi Etro karena memang ingin foto-foto di blog saya kece dan menggemaskan.
Jadi, penulis atau fotografer?
Saya tetap menjawab penulis, biar Abang saja yang jadi fotografer, Adek.
coba penulis dan fotografer diasah dan di gabungkan, pasti menarik mbak
ReplyDeleteSama-sama mengabadikan juga sama-sama memberikan informasi :D
ReplyDeleteApalgi kalau bisa melakukan keduanya, menulis juga memotret :D Pasti lebih enak. Hehe.
ReplyDeleteSaya juga suka menulis, tapi pengen pula jadi fotografer. Kalau du bidang kepenulisan sudah banyak karya yg dibuat, di bidang fotografer belum ada sama sekali
ReplyDelete