Saat Sesuatu yang Kamu Cintai, Mulai Membuatmu Jenuh - Bagi saya, menulis merupakan
bagian dalam hidup. Sejak mengenal dunia literasi, saya terus menerus
menekuninya. Belajar lagi dan lagi. Awal mula, saya menulis fiksi: puisi,
cerita pendek, kemudian novel. Setelah mengenal dunia blogger, saya mulai
belajar menulis non-fiksi. Dari menulis pula, saya mendapatkan penghasilan
untuk bertahan hidup setelah ditolak perusahaan sana sini.
Beberapa bulan yang lalu, saya
masih memiliki motivasi tinggi serta kepercayaan diri dengan pekerjaan saya
ini. Saya sangat menikmatinya dan mencintai pekerjaan ini. Sayangnya, sejak
awal tahun ini, saya merasa tersesat. Seakan-akan, cinta saya terhadap dunia
kepenulisan tak pernah ada.
Entah apa yang terjadi dengan
saya. Sebelumnya, saya tak pernah seperti ini. Bahkan, keinginan untuk membaca
pun luntur. Novel-novel dari penulis kecintaan pun tak mampu membangkitkan
gairah saya. Fiksi maupun non-fiksi, tak bisa membuat saya kembali bersemangat.
Tak ada yang salah dengan
pekerjaan sekaligus hobi saya ini. Sama sekali tidak ada. Saya pun percaya,
saya masih mencintainya. Masih ingin terus bergelut dengan dunia ini. Karena,
saya merasa memang di sinilah saya harusnya berada. Tapi, ada sesuatu yang
membuat saya mulai meragu. Sesuatu mengenai kepantasan dan masa depan.
Benar-benar memuakkan.
Mau tak mau, saya mulai
memikirkan pandangan orang lain mengenai profesi yang saya geluti, terutama di
mata lelaki. Yah, saya mulai meragu akan ada seseorang yang mencintai saya
dengan segala hal yang saya miliki, salah satunya menjadi seorang freelance. Terlebih
lagi, usia mulai menginjak menuju angka 30. It’s scary me.
Saya yakin, tak hanya saya yang
pernah merasakan hal ini. Di luar sana banyak sekali wanita yang merasakan hal
serupa. Akan tetapi, sebenarnya jalan ini sudah saya pilih. Seharusnya, saya
harus bangga dengan pilihan saya tersebut, bukan malah menjadi minder dengan
pilihan hidup saya sendiri.
Jadi, apa yang sebenarnya yang
saya inginkan dalam hidup?
Stigma sosial yang terjadi di
Indonesia, benar-benar mempersulit kami – para perempuan. Seakan-akan menjadi
perempuan lajang sampai usia 30 adalah perbuatan tercela dan harus dikucilkan. Pun
dengan pekerja lepas, bekerja di bidang kreatif yang dipandang sebelah dan tak
mampu menghidupi. Padahal, sebenarnya berapapun penghasilan bulanan kita, akan
terus merasa kurang apabila keinginan kita terus menerus tumbuh.
Tak memiliki masa depan yang
cerah, begitulah kata orang. Tapi, memang siapa sih yang bisa menjamin masa
depan? Negara? Orangtua? Atau justru dukun? Tak ada. Tak ada yang bisa menjamin
masa depan, kecuali Tuhan.
Salah saya: saya hidup dalam “kata
orang” yang perlahan membuat saya terbunuh.
“Listen to me,”kata Mbak Tikha.”Jangan
terlalu memikirkan omongan orang. Or it will kill you.”
Bodohnya saya, saya masih peduli
apa kata orang dan membuat saya down
apabila pendapat mereka berseberangan jalan atau justru mereka memang
benar-benar menghina keadaan saya.
Untuk saat ini, saya masih berada
di titik terendah (lagi) dan saya akan mencoba bangkit kembali. Untungnya,
untuk menuliskan curhatan di blog ini, saya masih memiliki tenaga yang tersisa.
Saya bersyukur. Itu artinya, kecintaan saya akan pilihan saya masih ada. Hanya
saja, mulai sekarang saya akan mencoba berjalan perlahan sampai akhirnya saya
akan memiliki semangat kembali.
Doakan saya.