Pandangan Orangtua Mengenai Pekerja Lepas - Ceritanya postingan ini menjawab salah satu pembaca mengenai pandangan orangtua saya, ketika saya memutuskan untuk kerja lepas. Kemudian, saya ajak sekalian Mbak Tikha, untuk menulis tema serupa yang kami posting di waktu yang bersamaan.
***
Mahasiswa, mendengar kata tersebut membuat saya berbangga diri waktu itu. Seakan masa depan cerah membentang di depan mata. Seakan ketika saya menyandang gelar A.Md di belakang nama saya, saya akan mendapatkan pekerjaan dengan mudah. Dengan sendirinya, pekerjaan akan menghampiri saya dan saya pun tak perlu susah-susah mencarinya.
Seperti halnya dengan saya, kedua
orangtua saya pun memiliki harapan besar mengenai kuliah saya ini. D3 Manajemen
Informatika, memberikan harapan besar mengenai masa depan yang besar pula. Menjunjung
tinggi pendidikan. Jelas, pendidikan tinggi akan memberikan derajat tinggi
pula.
Begitulah dulu saya membanggakan
pendidikan saya.
Dulu, sebelum saya tahu apa
sebenarnya kehidupan.
Dulu, sebelum dunia menolak saya.
Pendidikan tinggi bukanlah apa-apa tanpa skill dan pengalaman
Ini benar-benar saya alami. Ketika
itu, saya sudah selesai sidang Tugas Akhir (TA), yang itu berarti saya sudah
lulus. Tinggal revisi laporan saja. Nah, saya diajak teman satu kos saya yang
notabene pendidikannya di bawah saya, yaitu D1. Tetapi, soal pengalaman
pekerjaan dia sudah terjun terlebih dahulu. Sudah dua tahun dia bekerja sembari
kuliah. Dia baru saja keluar dari pekerjaan lamanya karena gaji yang
diterimanya sebesar Rp 1200.000,- setiap bulannya dirasa kurang. Dia ingin
mendapatkan gaji lebih. Maka dari itu, dia mencari pekerjaan lain.
Kami melamar di sebuah toko
komputer di Surabaya, kemudian kami melakukan tes interview besok Seninnya. Itu
adalah kali pertama saya melakukan tes interview untuk kerja. Dari latar
belakang pendidikan saya, tentunya saya lebih unggul dong, kuliahnya di bidang
komputer cari kerja yang tidak jauh-jauh dari komputer. Tapi, teman saya
tersebut yang diterima kawan-kawan. Apalagi alasannya kalau bukan karena dia
lebih cakap dan mengenal dunia kerja.
Dari situlah, drama mencari
pekerjaan tak kunjung membuahkan hasil.
Dalam blog ini sudah sering saya
tuliskan pengalaman mencari pekerjaan yang pernah saya lakukan. Sampai-sampai,
saya pernah kena tipu. Ehm, sudah sarjana kok masih bodoh, sih?
baca juga Jungkir Balik Dunia Freelance
baca juga Jungkir Balik Dunia Freelance
Ego Sarjana yang Tinggi
Seperti yang saya sebutkan di
atas, bahwa kata Mahasiswa benar-benar enak didengar. Membuat orang lain yang
tidak bisa mencicipi bangku kuliah tergila-gila dan merasa iri. Kami – saya –
yang berkuliah dan berhasil mendapatkan gelar di belakang nama saya, menjadi
pongah. Terutama karena saya belum tahu, dunia kerja itu seperti apa.
Ceritanya, setelah saya melamar
di toko komputer itu, saya melamar kerja lagi. Kali ini saya sudah lulus, sudah
mengenakan topi toga. Saya melamar pada perusahaan yang menyediakan virtual office di daerah Wonokromo,
Surabaya. Di sana, saya ditawari gaji Rp 1.500.000,- setiap bulannya. Kalian
tahu, apa yang saya pikirkan saat itu?
“Kok sedikit? Saya kan sarjana
D3.”
Begitulah yang terbersit dalam
otak saya. Saya ingat teman saya yang D1 saja bisa dapat Rp 1.200.000,- setiap
bulan. Kok, saya mendapatkan penghasilan hanya berbeda tiga ratus ribu saja?
Ego saya sangat tinggi waktu itu.
Sampai akhirnya, ego saya benar-benar menurun, ketika melamar ke sana kemari,
tetapi tidak ada yang menerima saya. Di situlah, kepercayaan diri saya menurun
drastis. Gelar yang saya bangga-banggakan dulu sudah tak ada artinya lagi.
Di situ, saya mulai menyadari
bahwa memiliki pendidikan tinggi, tidak menjamin apa pun.
baca juga Jungkir Balik Dunia Freelance
baca juga Jungkir Balik Dunia Freelance
Pandangan Orangtua mengenai Freelance
Sebelum ini, saya menulis
mengenai Jungkir Balik Dunia Freelance dan saya mendapatkan sebuah komentar,
bagaimana pandangan orangtua ketika saya memutuskan untuk bekerja serabutan
atau menjadi pekerja lepas.
Perlu diketahui, orangtua saya
merupakan salah satu orangtua yang ingin anaknya memiliki jabatan. Mempunyai
kedudukan, kekuasaan, dan menjadi orang terpandang. Mungkin, orangtua kalian
juga demikian, dan kalian mewujudkan impian mereka.
Bisa dibilang, saya anak durhaka
dan tak berguna yang sampai saat ini, saya belum bisa mewujudkan impian kedua
orangtua saya. Mungkin, kalian akan berpikir, saya egois dan memikirkan diri
sendiri. Itu memang benar. Saya egois, karena saya ingin bahagia.
Saat itu, satu-satunya jalan
adalah memanfaatkan keahlian saya, yaitu menulis dan mendesain blog. Bukanlah
pilihan bijak, jika saya terus menerus meratapi nasib karena penolakan. Bila
saya tidak memanfaatkan keahlian saya, maka selamanya saya tidak akan
mendapatkan penghasilan. Maka, dukungan dari teman-teman sayalah yang mampu
mendorong saya untuk menghasilkan uang dari keahlian saya.
Bagaimana dengan orangtua?
Sama seperti saya, kedua orangtua
saya juga berpikiran hal yang sama. Namanya sarjana itu bekerja di kantor,
memiliki penghasilan tetap setiap bulannya. Bekerja di tempat yang layak, yang
sesuai dengan latar belakang pendidikan. Saat itu, benar-benar menjadi titik
balik kehidupan saya. Selama 18th saya sekolah (saya hitung dari TK), baru kali
ini saya benar-benar mengecap kehidupan. Percayalah, ketika kamu lulus sekolah
atau kuliah, kamu di masyarakat bukanlah siapa-siapa. Karena kamu terjun di
dunia yang lebih luas.
Mungkin, ketika kuliah atau
sekolah, kamu adalah mahasiswa /murid pintar, populer, prestasi segunung. Mungkin,
keberadaanmu ketika di sekolah banyak yang menantikan dan tahu. Tapi, ketika
melepas embel-embel mahasiswa maupun murid, maka kamu bukan siapa-siapa. Kamu
tidak memiliki identitas apa pun.
Kecuali, Wulan pengangguran.
Ada kejadian di mana saya dipaksa
untuk masuk menjadi pegawai negeri. Tentu saja, lewat jalur belakang. Hal tersebut
bertentangan dengan hati nurani saya, terlebih lagi ketika saya sudah
memutuskan untuk bekerja di rumah. Kalaupun saya bekerja di kantor, paling
hanya satu sampai dua tahun saja. Kemudian, saya kembali bekerja di rumah. Nah,
kalau saya diminta untuk menjadi pegawai negeri, pakai sogokan lagi. Tentu
saja, hal tersebut bertolak belakang.
Lalu, apa yang terjadi
selanjutnya? Karena paksaan tersebut, akhirnya saya menyetujuinya dengan sangat
berat hati. SANGAT.
Selama berbulan-bulan saya tidak mengungkit-ungkit
lagi mengenai pegawai negeri atau apa pun itu. Saya hanya berfokus pada blog,
meningkatkan kualitas blog dan mengasah kemampuan mendesain saya. Sampai
akhirnya, saya tidak mendapat pembahasan sama sekali mengenai pegawai negeri
dan tetek bengeknya.
Saya terus mendalami dunia
blogging dan mendesain blog, sampai akhirnya saya mendapatkan penghasilan dan
mencatatnya. Sampai akhirnya, catatan penghasilan saya pada bulan tersebut
mencapai angka 3jt. Saat itulah, saya bercerita kepada orangtua saya, mengenai
jumlah penghasilan bulan tersebut. Mereka terkejut dan tidak mempercainya.
Sejak saat itu, sedikit demi
sedikit orangtua mulai mendukung kegiatan saya. Saya pun, semakin sering
bercerita mengenai penghasilan saya dan kegiatan saya. Komunikasi mulai lancar.
Meskipun begitu, tidak jarang orangtua mengungkapkan keinginan mereka. Seperti
ketika ada pencalonan sekretaris desa, orangtua kembali mencecar saya untuk
menjadi sekretaris desa.
Begitulah.
Kedua orangtua saya masih
mempunyai harapan anaknya menjadi orang terpandang, lagi-lagi mereka goyah. Lagi-lagi,
pemaksaan digencarkan. Mereka selalu bilang, terserah saya. Tetapi, ketika saya
menolak masih saja menawarkan.
Sampai sekarang, saya konsisten
untuk menjadi freelancer, tidak mudah
memang. Banyak perbincangan yang saya dengar, bahkan mungkin lebih banyak dari
yang saya dengar. Gunjingan tetangga mengenai pendidikan saya dan lebih memilih
di rumah. Mereka tak pernah tahu apa pekerjaan saya, jenis pekerjaan yang saya
lakukan dan berapa penghasilan saya perbulannya.
Bagi saya, yang terpenting kita bisa menjalani hidup ini dengan bahagia, maka di manapun kita bekerja asal bahagia, kenapa nggak?
Bagi saya, yang terpenting kita bisa menjalani hidup ini dengan bahagia, maka di manapun kita bekerja asal bahagia, kenapa nggak?
baca postingan partner saya Apa kata ortu tentang Freelance
Setuju, Mbak. Di tempatku banyak lulusan SMP yang sukses dengan berdagang dan berwirausaha. Memang perjalanannya panjang, tapi itu cukup membuktikan kalau gelar tidak berpengaruh dengan datangnya rezeki.
ReplyDeleteTerima kasih sudah berbagi mbak wulan..
ReplyDeleteElla Jogja
Aku tahu yang kamu rasakan Mbak. Aku pengen jadi full time blogger biar bisa ngurus anak tapi orangtuaku pengen aku tetap ngajar dengan gaji yang di bawah standar karena masih honorer. Pas aku ceritain soal bayaran ngeblogku apa kata mereka? Ya tetep ngajar sambil ngeblog. Yo wis. Hahahaha
ReplyDeleteSetuju sama mba Wulan. Dimana-mana pasti aku selalu mendengar bahwa yang di cari di dalam pekerjaan itu adalah skill dan kemampuan berkomunikasi, bukan hanya nilai IPK yang tinggi saja. Walaupun tidak menutup kemungkinan juga kalau hal itu j adalah salah satu syarat. Tapi bukanlah syarat yg utama. Untuk itu, sekarang aku lebih fokus mencari skill dan passion aku dimana hehe.. Semangat mba Wulan jangan dengarkan orang lain ngomong apa di belakang toh mereka mungkin sebenarnya hanya iri terhadap apa yang kita lakuin :D
ReplyDeletemungkin kamu nulis ini sambil dengerin lagunya Iwan Fals yang judulnya Sarjana Muda 😂😂
ReplyDeleteemang betul, gelar belum tentu berbanding lurus dengan pekerjaannya yang didapat nanti, kecuali kalau sudah punya pengalaman sebelumnya. Jaman sekarang pengalaman yang dibutuhkan, baru skill. Gelar mah ntar aja. kecuali kalo kamu mau masuk jadi PNS..hehehe
Semangat Ka Wulan :) Kalau memang sudah rezekinya, pasti ga akan kemana.
ReplyDeleteAku aja baru semester satu kuliah, orang tua berharapnya udah banyak banget. Apalagi ibuku yang kurang setuju dengan jurusan yang aku pelajari. Tapi terus - terusan, aku bilang kalo aku seneng disana. Gitu. Ya semoga yang terbaik aja kedepannya ya :D
Bener bnget mbak. Embel2 kek "Mahasiswa" sempat bikin aku ngiri. GLEK!!!
ReplyDeleteTapi sjauh ini. Aku alhamdulillahh bersyukur Tuhan kasi jalan ke aku spt ini. Walo ga bisa ngerasaiin punya embel2 Mahasiswa. Tapi aku coba mlakukannyaa dg bahagia. Meski awalnya dipaksakan juga. Namun, lambat laun saya pun merasakan kebahagian itu.
Keren banget Ceritanya Mbak.. Mencerahkan saya yg masih kuliah.. Luar Biasa.. Salam kenal Mbak Wulan.
ReplyDeleteFreelancer itu dalam pandangan saya seperti udara. Gak terlihat tapi dibutuhkan banyak orang. Tidak menampakkan diri tapi dia memiliki banyak potensi.
ReplyDeleteTetap semangat mbk Wulan :)
Mba Wulan, aku pernah juga menjadi freelance. Tapi untunglah keluargaku tak pernah bertanya-tanya. Semoga pilihan ini terbaik ya :)
ReplyDeleteSebenarnya yang diinginkan orang tua itu baik, tapi apa daya, terkadang anak diberi keahlian yang berbeda, bukan dijadikan orang yang bisa dipimpin, namun malah menjadi orang yang bisa memimpin
ReplyDeleteya gimana gimana yg namanya orang tua pasti pengen punya anak yg kerjanya tetap dan bisa dibilang "lebih" dari orang tuanya, apalagi kalo sudah sarjana pengennya ya kantoran biar tidak mubazir ngunu mbak hahaha D3 kampus negeri di sby mbak?
ReplyDeleteOrtuku juga gitu, lan. Sekarang tapi udah enakan karena ngerti gimana cara kerjanya. Jadi tiap bikin postingan aku cerita gimana nulisnya, dapet ide dari mana. Malah ibu yang bilang mending banyakin jalan2 biar dapet bahan tulisan. Jadi ya, balik lagi ke gimana kita ngeyel untuk buktiin kalau freelancer nggak seremeh apa kata orang. Kejar aja terus sampai bisa beli sesuatu yang wah. Biasanya bakal diem deh.
ReplyDeletesemangat selalu ya sayangku, suatu saat orangtuamu pasti mengerti.
ReplyDeleteMbak wulan, aku baru baca blog kamu. Kamu memang keren, memang orang - orang mindsetnya masih belum terbuka akan freelancer, padahal kalau kita liat peluang freelance dengan baik, bisa - bisa hasilnya lebih dari cukup. Semangat freelance ya mbakkk
ReplyDeletewww.extraodiary.com
Dulu pas belum jadi sarjana, aku malah bekerja. Setelah jdi sarjana malah kerja di rumah, hasilnya lebih besar daripada waktu kerja di kantor dan ngajar. Bisa sambil jalan-jalan lagi. Pokoke bagiku sih, tetep enak kerja di rumah..haha
ReplyDeleteOrang tua memang rata2 berpikiran seperti itu ya mbak wulan. Orang tua saya pun demikian. Hehehe. Meski saya berprofesi sebagai dokter dan saat ini bekerja sebagai pegawai BUMN, tapi rasanya kok menjadi blogger lebih menyenangkan ya, Wulan. Penghasilan dari ngeblog memang engga seberapa dibanding dengan pekerjaan profesi saya. Tapi itu tadi, bahagianya dapat. Tapi terkadang memang tidak semuanya bisa berjalan seperti yang kita inginkan. Yang penting adalah kita menikmati apa yang kita jalani saat ini. sukses terus ya wulan :)
ReplyDeleteWaah, sebelas dua belas sama cerita saya juga nih. Bener, sih memang ga ada jaminan gelar yang tinggi itu bakalan sebanding sama gaji. Tapi menurut saya, pendidikan itu penting, kalau jalan hidup ya kita sendiri yang menentukan. Kalo kata dosenku dulu, pekerjaan yg paling menyenangkan adalah hobby yang dibayar :)
ReplyDeleteTetap semangat Mba :D
Untungnya saat ini pandangan org ttg freelancer udah mulai membaik ya mbak, j aku optimis kemungkinan sepertinya juga akan makin baik lg saat kita yg jd generasi tuanya hehe
ReplyDeleteBagaimana dengan saya, Wul?
ReplyDeleteS-2 tetapi ibu rumah tangga disambi freelance.
Bayangkan saja bagaimana ibuku kalo menelpon selalu tanya kenapa tidak mendaftar jadi PNS, hehe...
Banyak kok pengusaha yang sukses namun strata pendidikan mereka ga tinggi-tinggi amat.
Kalau hanya sekadar gengsi, ah saya sudah menjauh dari situ.
Toh, dunia sementara dan terus berputar. Saya hanya selalu berpikir, semua yang dikejar di dunia dan sifatnya duniawi tidak bakalan juga dibawa mati justru bisa jadi beban ketika kelak malaikat menanyai...
Duh, Wul... aku kayak mamah dedeh nih... *tumben komen panjang
Hhh memang ya lapangan kerja konvensional saat ini sempit sekali. Maka dari itu kita yang harus pinter-pinter liat peluang dan berusaha sendiri. Sama Mbak, aku juga merasa useless abis lulus kok keliatan nganggur di rumah. Beruntung emang mau nikah jadi bisa dijadikan alesyan wkwk
ReplyDelete