Menjadi Pemikir Itu, Melelahkan - Benar bila ketika hendak
melakukan sesuatu, kita harus memikirkannya secara matang. Tidak mengambil
keputusan dalam keadaan emosi – entah itu marah atau sedih – dan tidak
terburu-buru dalam mengambil tindakan. Tapi, apa jadinya jika seseorang overthinking?
Postingan ini saya buat untuk
berbagi. Bagaimana isi kepala seorang introvert
yang pemikir. Overthinking. Sesuatu
hal yang sangat tidak mengenakan. Seakan-akan, setiap langkah yang saya ambil,
saya membawa beban berton-ton. Dan penyakit ini benar-benar menganggu dalam
aktivitas. Semacam dinding yang membatasi ruang gerak. Sangat tidak mengenakan.
Kebanyakan seorang introvert atau seorang pemikir, selalu
memedulikan perkataan orang lain. Parahnya hal itu belum terjadi, sudah menjadi
beban tersendiri. Parahnya lagi, terkadang yang menjadi pokok masalah adalah
masalah sepele yang tak perlu dipusingkan.
Contoh yang saya ambil, baru saja
terjadi bulan lalu. Sebelum saya traveling, saya selalu memikirkan banyak hal.
Menyiapkan segala sesuatunya yang menguras kantong dan akhirnya saya kelelahan
sendiri karena memikirkannya. Padahal, apa yang saya butuhkan sepele.
Biasanya ketika traveling, saya membawa
tas ransel warna coklat dan tas selempang. Nah, kemarin ketika ke Madura saya
ingin membeli travelbag yang lebih
simpel karena – entah kenapa – sebelumnya saya membeli tas ransel kecil yang
cantik. Rasanya aneh bila saya harus membawa tas ransel coklat dan tas ransel
baru itu berbarengan. Akhirnya, saya mencari travelbag. Awalnya, saya hendak membeli di toko online, kemudian
saya putuskan membeli di toko dekat rumah saja. Mungkin ada.
Akhirnya, saya pun ke Mojokerto
kota. Pergi ke sebuah toko. Di sana banyak travelbag mulai dari ukuran kecil
sampai ukuran besar. Galaupun melanda karena saya tidak tahu berapa ukuran yang
pas untuk 4 hari perjalanan. Kemudian, saya memilih salah satu dan berdoa bahwa
tas itu cukup. Sampai di rumah saya mencobanya dan tas itu terlalu mepet. Tidak
ada kelebihan sama sekali. Okelah. Saya memutuskan untuk pakai ransel coklat
saja. Toh waktu ke Jogja Maret lalu, tas itu cukup untuk baju satu Minggu.
Dan ternyata ketika saya pergi ke
minimarket, saya menemukan travelbag
lipat , murah lagi. Cuma Rp.25.000,- tanpa pikir panjang, saya pun
mengambilnya. Nah, ketika sudah di rumah saya coba kembali. Saya berpikir, “Kok
bawaan saya banyak amat?”padahal, isinya hanya pakaian. Beberapa potong kaus
dan celana. Ah, terlihat amat banyak karena travelbag
tersebut besar, masih ruang sisanya masih banyak.
Saya kembali galau, dan berpikir apa kata teman-teman? Padahal sekadar
ke Madura selama 4 hari.
Ternyata, kekhawatiran saya itu
benar-benar berlebihan. Sepele. Di sana, banyak teman yang membawa koper-koper
besar untuk traveling. Hmm.
Itu contoh sederhana. Ada lagi,
contoh saya benar-benar pemikir adalah sebelum acara ke Madura banyak hal yang
saya khawatirkan. Salah satunya, bagaimana nanti kalau saya ditanya mengenai
pendapat perjalanan selama di Madura? Bagaimana saat itu ketika kita berkumpul,
saya akan ditanya semacam itu di depan umum? Bagaimana kalau saya tidak bisa
bicara?
Percayalah, kekhawatiran tersebut
benar-benar beban buat saya. Bahkan, hal tersebut saya pikirkan sampai ketika
acara berlangsung. Selama acara berlangsung, saya menghindari hal-hal semacam
itu. Berdoa dalam hati, semoga hal itu tidak terjadi. Akibatnya? Saya jadi
kurang akrab dengan peserta #MenduniakanMadura. Sekarang, saya menyesal karena
terlalu banyak mikir.
Apa setelah saya menulis ini,
nantinya saya akan menjadi orang yang easy
going? Saya rasa tidak, karena mindset
saya belum benar-benar tertata rapi. Banyak hal yang harus saya lakukan untuk
membuang rasa minder dan rasa tidak percaya diri saya.
Terkadang saya ingin jadi orang yang cuek. Nggak dikit2 mikir. Bikin pusing soalnya. :(
ReplyDeleteMenjadi pemikir memang melelahkan sih. Hal sederhana aja kadang dipikir
ReplyDeleteAku juga terkadang seperti itu, Mbak. :(
ReplyDeleteKalau dari permasalahan Mbak, mungkin pemikirnya harus dikurangi, Mbak. Jadi Mbak sendiri bisa nyaman dan mudah akrab sama teman baru. Aku dulu juga gitu, Mbak. Parahnya sering berpikir negatif dan kelewat takut sama orang baru
ReplyDelete