Mendulang Rezeki, Minggu Pagi, di Tugu Pahlawan Surabaya - Saya hampir lupa, saya mempunyai
pengalaman berjualan di pasar Minggu pagi di Tugu Pahlawan, Surabaya. Pengalaman
tersebut saya alami ketika masa kuliah, ketika masih dalam masa-masa bahagia bersama
kawan-kawan saya.
Saat itu, saya dan beberapa teman
sekelas membuat rumah produksi kreasi kain flanel. Kami menjualnya via online
(saat itu, online shop belum menjamur seperti sekarang ini) dan via offline. Kami
menamai toko online kami D’BfrendShop. Ketahuan masih jaman alay banget ya?
D’BrfendShop beranggotakan
sembilan orang, meskipun pada akhirnya gugur satu persatu sampai akhirnya
tinggal beberapa orang saja. Kami selalu berkumpul setiap hari Kamis, usai mata
kuliah yang hari itu hanya ada satu mata kuliah. Terkadang kami berkumpul
ketika hari sedang tidak ada kuliah. Kami berkumpul di indekos saya.
Kreasi kain flanel, kami
memproduksinya sendiri. Membuat pola, menggunting, menjahit, dan semuanya
sendiri. Kami pun tak butuh kursus untuk membuat produk tersebut. Kami belajar
otodidak, meskipun hasilnya tidak selalu memuaskan.
Setelah bekerja cukup lama,
beberapa pesanan datang. Entah dari dunia maya maupun dunia nyata. Tidak
banyak. Hanya satu dua biji. Kami pun bahagia. Hari demi hari, produk kami
semakin banyak. Kami pun memikirkan cara lain untuk berjualan.
Sampai akhirnya, kami membuat
rencana untuk menggelar lapak di TP pagi. Pikir kami, ah pasti akan banyak
pembeli nantinya. Wajar saja kami berpikir demikian, karena kami melihat
pengunjung TP pagi atau Tugu Pahlawan ketika Minggu pagi sangat-sangat ramai. Di
sana pun banyak penjual yang menggelar jualannya di sepanjang jalan Tugu
Pahlawan. Mulai dari barang bekas, barang baru, nasi pecel, apa pun ada. Tumpah
ruah. Makanya, kami berencana ke sana Minggu pagi.
Terkadang Ekspetasi Jauh dari Kenyataan
Kami mendapat informasi dari salah satu teman, kalau mau jualan di TP pagi itu harus datang pagi-pagi. Lebih pagi dari pembeli yang akan datang, tentu saja. Makanya, saat itu kami berangkat pagi sekali. Membawa selembar karpet merah yang biasanya kami buat setrika, barang dagangan yang sudah dikemas plastik, dan selebaran.
Sampai di sana, kami berjalan
berkeliling. Menempati lahan kosong di jalan trotoar. Kemudian menunggu. Sebenarnya,
apa yang sedang kami lakukan? Kami menunggu diusir!
Jadi begini, di sepanjang jalan
trotoar yang mengelilingi Tugu Pahlawan itu, sudah banyak orang yang memiliki
tempat masing-masing. Sehingga, kami tak bisa serta merta menempati lapak orang
lain dan kemudian akhirnya bertengkar. Tidak. Kami tidak siap. Maka, kami
melakukan hal ini: ada lapak kosong, tempati, menunggu, kemudian diusir. Jalan
lagi, ketemu lahan kosong, menunggu, kemudian diusir. Begitu terus. Sampai
akhirnya, kami menemukan tempat. Bukan lahan kosong sebenarnya, tapi kebetulan
yang biasa dagang di situ sedang libur. Salah seorang penjual mainan di sebelah
kami yang memberitahu.
Fiuh.
Kami pun mempersiapkan barang
dagangan kami. Menata barang-barang di atas karpet merah yang biasa kami buat
setrika di kos – kalau tidak salah ini punya Ella. Setelah selesai menata, di
saat itu pula pengunjung Tugu Pahlawan mulai ramai.
Ada beberapa teman saya, Retno,
Yuli, Ella, dan Watis menunggui tempat jualan. Sedangkan saya dan Dina bertugas
berkeliling Tugu Pahlawan sembari membawa selebaran yang berisi foto produk
kami dan nomor telepon. Sebagai informasi, selebaran tersebut kami buat dari
kertas folio yang diprint biasa. Ngeprint kertas pun di rumah Dina secara
gratis.
Meskipun pagi, Tugu Pahlawan
panas. Terlebih lagi banyak pengunjung berdesakan. Saya dan Dina berkeliling,
menyetop orang dan memberinya selebaran. Usai selebaran kami habis, kami
kembali ke tempat dagangan.
“Sudah ada yang laku?”tanyaku.
Mereka menggeleng. Lucu saja sih, kami berjualan dengan satu lapak dan penjualnya
banyak. Xoxo. Akhirnya, saya membuat tulisan harga dagangan kami dan meletakkan
di tepi dagangan. Taktik agar orang lain mau mampir sekadar bertanya dan
akhirnya membeli.
Beberapa saat kemudian, Della
salah satu anggota D’BfrendShop pun datang bersama pacarnya. Pacar si Della
bilang kagum dengan kami karena bisa mendapatkan tempat jualan di Tugu
Pahlawan. Dari dia kami tahu, bahwa mencari tempat jualan di sini penuh
perjuangan. Dari pengalaman ini pun saya tahu, penjual di Tugu Pahlawan harus
setor pajak juga.
Akhirnya, ada juga yang membeli
dagangan kami. Saya lupa berapa, tapi tidak hanya satu buah. Yang lucu adalah
kami tidak mempunyai tas kresek untuk pembeli yang membeli lebih dari satu.
Kami sama sekali tidak memikirkan hal itu. Xoxo.
Mau bagaimana lagi, kami hanya
berpikir satu orang akan membeli satu buah. Paling-paling gantungan kunci.
Nyatanya, tidak.
Kami pun menggulung lapak sebelum
waktu pasar Tugu Pahlawan bubar, agar kami bisa berjalan-jalan. Ya, meskipun
saat itu dagangan kami tidak laku banyak, paling tidak kami punya kenangan
bersama dan yang terpenting, saya memiliki cerita menyenangkan yang bisa dibagi
dengan kalian.
Love you, Guys. Miss you all.
jadi mengingatkan masa-masa kuliah dan masa-masa sahabatan Mbak. :)
ReplyDeletepengalamannya itu yang mahal ya :)
ReplyDeletesampai sekarng apa masih kontak dengan teman teman?
halo kak gimana ya caranya jualan di tugu pahlawan
ReplyDelete