Job Seeker? Yes, I Am : Part 1 - Ketika menjadi job seeker, seringkali saya membaca
persyaratan dalam pencari pekerja adalah lihai dalam berbahasa Inggris, mau
aktif maupun pasif. Syarat tersebutlah yang membuat saya mundur teratur, tentu
karena saya tidak bisa berbahasa Inggris. Bisa sih, tapi sedikit sekali.
Suatu ketika, saya melamar
pekerjaan di sebuah toko yang menjual alat berat. Alat-alat tersebut tidak
hanya dijual dalam negeri, tapi juga luar negeri. Tentunya, sang pemilik
membutuhkan tenaga yang memiliki skill
berbahasa Inggris, minimal pasif. Waktu itu, saya sudah melewati pilihan untuk
melamar di toko tersebut, tapi teman saya Dina berkata, “Ayo, Lan. Dicoba dulu.”
Akhirnya, saya pun melamar di
toko tersebut dengan Dina, yang kebetulan kami baru saja menaruh surat lamaran
kerja di kantor seberang toko tersebut. Seperti biasa, dentuman jantung saya
berpacu cepat. Begitulah, selalu melebihkan sesuatu. Tiba saatnya, kami masuk
ke dalam toko dan ternyata sang pemilik langsung melakukan interview.
Kami diminta ke lantai tiga waktu
itu. Toko tersebut nampaknya baru pindah tempat di sana, karena ketika di
lantai dua, ruangan tersebut masih kosong, cat putih bersih, dan berantakan. Di
lantai tiga, di sebuah ruangan, kami bertemu seorang Cece pemilik toko. Beliau
meminta salah satu dari kami masuk. Saya mundur, Dina saya minta duluan. Setelah
Dina masuk ke dalam ruangan tersebut, si Cece itu keluar, memberi saya dua
lembar kertas. Satu kertas kosong dan satu lagi kertas berisi soal. Ah, saat
itu saya teringat mengenai ujian yang sering kami ikuti di kampus.
Usai memberikan dua lembar kertas
tersebut, si Cece kembali masuk dan melakukan interview dengan kawan saya.
Di luar, saya kebingungan.
Soal-soal yang saya sebutkan tadi
adalah berupa beberapa pertanyaan dalam Bahasa Inggris. Salah satu pertanyaan
dalam kertas tersebut adalah, saya diminta untuk membuat surat penawaran dalam
Bahasa Inggris. Ah, kepala saya berdenyut-denyut. Memahami Bahasa Inggris saya
masih mampu, tapi kemampuan menulis dan berkomunikasi saya melempem.
Mau tak mau, saya harus menyelesaikan
soal-soal tersebut dengan keterbatasan yang saya punya. Hasilnya? Tentu saja,
sangat-sangat tidak memuaskan. Selang beberapa menit, Dina keluar, itu artinya
giliran saya tiba.
Dengan gugup dan tingkah laku
kikuk, saya masuk ke dalam ruangan tersebut. Si Cece tersenyum manis. Perempuan
berkulit putih itu menyambut saya. Lalu, interview
dimulai. Beliau menanyakan apakah saya bisa memegang Ms. Excel. Tentu, saya
menjawabnya bisa. Meskipun dalam hati, saya mengatakan akan belajar lagi kalau
nantinya diterima. Bagaimana, tidak? Orang di kampus kami tidak belajar
akuntansi dan Ms. Excel. Tapi saya tidak ambil pusing masalah komputer. Asal
tidak diminta membuat pemrograman atau logika-logika dan coding, saya sanggup.
Tibalah saatnya, beliau bertanya
mengenai kemampuan Bahasa Inggris saya. Tentunya, saya menjawab dengan jujur.
Saya bilang, kalau Bahasa Inggris saya kurang mampu. Dan, selanjutnya si Cece
minta maaf karena beliau mencari seseorang yang mampu dalam berbahasa Inggris
karena beliu menjual alat berat tak hanya untuk orang dalam negeri.
Ah, saya maklum.
Saya pun menjabat tangan
perempuan berkulit halus tersebut, tentunya dengan senyuman bersahabat. Lalu,
saya mencari keberadaan Dina. Setelah melewati lantai dua yang kosong tersebut,
saya pun turun ke lantai satu tempat orang-orang di toko tersebut bekerja.
Ternyata, Dina berada di sana, mengerjakan soal-soal seperti yang saya kerjakan
tadi.
Karena pengalaman itulah,
akhirnya saya memutuskan untuk pergi belajar Bahasa Inggris di Pare. Ceritanya,
akan saya tulis lain waktu.
xoxo,
Wulan K.
Wuah kereeen, tuntutlah ilmu sampai ke Ngeri Cina...smpga sukses ya 'Lan, barokallah ilmunya ::kisskkss::
ReplyDeleteSemangaaat ya dek
ReplyDeleteaku dulu kursus bhs inggris jg gara2 nglamar kerja hhaha
ReplyDelete