Job Seeker Part 3 : Pengalaman Pertama Melamar Kerja - Saya melamar pekerjaan, jauh-jauh
sebelum saya mengenakan topi toga. Bahkan, sebelum saya menyelesaikan revisi
tugas akhir. Kala itu, masa-masa saya harus menyelesaikan revisi dari ujian
tugas akhir saya. Saya harus menemui dosen pembimbing dan dosen penguji untuk
menyelesaikan revisi laporan tugas akhir. Tapi, saya justru mencari pekerjaan.
Ya, karena saya ingin setelah wisuda sudah mendapatkan kerja. Jadi, pengalaman ini saya alami sebelum pengalaman Perusahaan Abal-Abal.
Saya ingat, kala itu saya melamar
pekerjaan dengan Nana, adik kos yang sudah berpengalaman dalam bekerja. Kami
keliling Surabaya, menaruh lamaran di sana sini. Hari itu, kami pergi ke Jalan
Kalibokor Surabaya, tepatnya ke toko barang elektronik. Setelah kami memutar di
Jalan Raya Ngagel, akhirnya toko elektronik yang lebih spesifik menjual
komputer tersebut ketemu. Waktu itu, kami hanya menaruh lamaran di pos satpam,
tapi belum apa-apa saya sudah gugup.
Tak lama setelah menaruh lamaran
di toko elektronik, kami kembali berkeliling Surabaya, mencari alamat-alamat
yang sudah kami catat sebelumnya. Menaruh lamaran di sana sini, berbekal surat
tanda lulus. Ternyata, sewaktu kami berputar-putar tersebut, ada panggilan
telepon dari toko elektronik tersebut. Bahwa, kami diminta untuk datang di Hari
Senin, pukul sembilan pagi.
Kami girang. Saya pun begitu.
Saya berpikir, toko tersebut benar-benar membutuhkan tenaga kerja. Saya
berpikir, saya pasti diterima, karena pengalaman saya selama ini selalu
beruntung. Jalan saya selalu mulus. Saya polos sekali waktu itu.
Hari Senin tiba. Saya berangkat dengan
memakai kemeja putih yang saya beli di Tugu Pahlawan di Hari Minggu pagi (Orang
Surabaya pasti tahu tempat apa ini) dan bawahan celana kain hitam yang
satu-satunya saya miliki. Ingat, saat itu saya belum resmi lulus, tapi saya
sudah mempersiapkan diri untuk mencari kerja. Saya semangat sekali waktu itu.
Pukul sembilan tepat, saya dan
Nana sudah sampai di toko elektronik. Awalnya, saya pikir yang melamar kerja
hanya kami berdua. Ternyata yang berada di ruangan tunggu tersebut tidak hanya
kami. Banyak.
Saya dan Nana duduk berdampingan
di ruang tunggu. Kami diberi dua lembar kertas. Satu soal dan satu lembar
jawaban. Ini kali pertama saya mengisi soal yang jauh berbeda dengan hal-hal
akademis. Saya bingung. Mau menoleh ke arah Nana tidak enak. Lalu, saya harus
mengisinya dengan jawaban apa? Jujur saja, atau jawaban yang membuat orang
terkesan tapi bukan sebenar-benarnya saya? Saya pun memilih jawaban sesuai apa
adanya.
Usai mengisi soal-soal dengan
jawaban tak pasti tersebut, kami mengumpulkannya. Lalu, kami menunggu.
Saat-saat menunggu tersebut, saya
memperhatikan orang-orang yang sedang bekerja di toko tersebut. Terlihat rapi,
sibuk, dan sibuk. Salah satu pekerja di sana ada yang memakai celana jins, saya
pun berpikir, nantinya apakah saya juga boleh mengenakan jins selama bekerja?
Karena terus terang memakai celana kain sangat tidak saya sukai. Lebih baik
pakai rok sepan hitam daripada celana kain.
Lalu, Nana dipanggil. Jantung
saya berdegub cepat. Itu berarti, giliran saya akan segera tiba.
Lama.
Nana di dalam lama sekali. Padahal,
sebelum-sebelumnya tidak selama itu. Saya semakin gugup. Saya berpikir, apakah
nantinya saya akan ditanyai sesuai soal-soal yang saya isi tadi? Kalau tidak
sinkron bagaimana? Banyak pertanyaan yang memenuhi otak saya, saya sampai lelah
sendiri dan saya semakin gugup.
Akhirnya, Nana keluar, saya pun
dipanggil. Saya menarik napas dalam-dalam, dan ikut ke dalam. Lalu, saya
diminta masuk ke dalam ruangan. Di sana, di balik meja sudah ada bapak-bapak
yang menunggu. Saya tersenyum, beliau tersenyum. Saya diminta untuk duduk, saya
pun melakukannya.
Kedua tangan saya saling bertaut,
mata menunduk, sesekali melihat ke arah si Bapak. – Kalian pasti tahu ending dari interview ini.
Si Bapak memberikan pertanyaan
seperti biasa – saya tahu di hari-hari nanti kalau pertanyaan ini umum
ditanyakan -, saya anak keberapa, orangtua bekerja apa, dan hal-hal pribadi
semacam itu. Bodohnya, ketika interview
saya memikirkan mengenai revisi tugas akhir saya, yang belum selesai.
Seakan-akan hal tersebut akan menjadi penghalang saya bekerja. Saya berpikir
jauh, bagaimana kalau saya diterima, lalu nasib tugas akhir saya bagaimana? Saya
tidak fokus saat interview dan itu terlihat jelas dalam ekspresi saya. Saya gugup.
Banyak pikiran. Kacau.
Lalu, si Bapak bertanya,”Berarti
bisa membuat website?”
Saya menjawab,”Kurang bisa, Pak.”
Ini kesalahan saya yang lain. Saya terlalu memikirkan apakah nantinya saya
langsung diminta membuat website, sedangkan saya hanya mengerti dasar saja?
Seharusnya, saya menambahi, atau menjelaskan di mana letak kemampuan saya.
Tapi, saya justru menjawab seperti itu.
“Baiklah, nanti saya kabari
kembali,”ucap si Bapak. Saya pun berterima kasih, tersenyum, berjabat tangan,
lalu keluar ruangan.
Pulang dari toko elektronik
tersebut, hujan turun, tidak besar. Tapi, mampu membuat jaket dan kemeja yang
saya kenakan, basah. Lalu, kami melipir ke warung bakso. Sekadar berteduh dan
mengisi perut. Di sela-sela dentingan sendok dan mangkuk kami, Nana mulai
bertanya.
“Bagaimana tadi? Bulan depan
training, juga?”saat itu, aku tertegun. Sudah saya katakan, ini kali pertama
saya melamar kerja. Saya sama sekali tidak tahu mekanismenya seperti apa.
“Bilangnya satu minggu lagi
dihubungi,”jawabku.
“Biasaya, kalau ditolak bilang
begitu,”balas Nana. Mungkin, wajah saya saat itu terlihat datar, tapi memang
terus terang bayangan revisi tugas akhir tak kunjung hilang. “Sudah, nggak usah
dipikirkan.”
“Nggak kok, aku mikirin revisi,”jawabku,
setengah jujur, setengah tidak. Tidak memungkiri bahwa, saya kecewa karena
ditolak.
Saya kecewa. Mungkin karena
pandangan saya terlalu jauh, atau memang karena ini awal saya berjuang mencari
kerja. Saya tidak tahu.
Dunia kerja keras. Kudu tetap semangat
ReplyDeleteAku belum pernah ngelamar kerja, hihi. Semoga aja gak pernah ngelamar kerja.
ReplyDeleteAku ga ngelamar kerja ngelamar anak orang aja
ReplyDelete