Benda itu bercorak bunga kenanga,
dasarnya berwarna putih gading, dan tubuh bagian tengah benda itu melengkuk
bagaikan sebuah gitar. Sebuah vas bunga yang entah bagaimana aku
mendapatkannya. Vas itu sudah berada di bufet ruang tamu rumah kedua orangtuaku
selama bertahun-tahun.
Aku sudah melihat benda itu
semasa kedua orangtuaku masih hidup, lima tahun lalu. Tepat ketika pemakaman
kedua orangtuaku.
Aneh rasanya, melihat benda itu
tiba-tiba saja muncul selang kedua orangtuaku meninggal. Dan, tak ada satu pun
yang mengakui menjadi pemilik vas bunga tersebut.
Aku masih ingat. Saat itu,
tanggal 8 April 2010. Lima tahun lalu. Aku menangis dalam diam, terisak tak
keruan. Kemudian, di sela-sela mata sembabku aku melihat vas bunga itu. Berdiri
tenang dalam bufet kaca ruang tamu. Sendirian, tanpa bunga yang menghiasinya.
Selama lima tahun, aku membiarkan
vas itu tetap di sana berteman dengan debu. Namun kini, aku penasaran untuk
menyentuhnya.
Kubuka perlahan pintu kaca yang
menghalangiku dengan vas bunga tersebut. Secara perlahan kuraih benda pecah
belah itu. Begitu halus dan indah. Kueelus perlahan benda tersebut penuh kasih.
Seakan benda itu begitu berharga dan aku takut melukai. Mendadak vas bunga itu
menjadi begitu hangat.
Aku terkejut tatkala vas bunga
itu semakin hangat dan membuat badanku lemas. Ingin rasanya kulepas benda itu
dari genggamanku, namun aku tak kuasa. Hingga kurasakan tubuhku menghangat dan
terasa begitu lepas, dan ringan. Kemudian, aku tak sadarkan diri.
Mataku terasa begitu berat.
Berkali-kali kucoba untuk membukanya, namun hanya pandangan buram yang kudapat.
Dan, ketika pandanganku benar-benar pulih, aku terkejut. Ruang tamu yang
tadinya begitu hening, kini ramai dipenuhi oleh orang-orang yang berbaju serba
hitam. Bahkan, aku mendapati diriku sendiri pada lima tahun yang lalu, sedang
menangis dalam diam.
Aku sama sekali tak mengerti,
kenapa bisa tubuhku kembali ke masa lalu. Terlebih lagi vas bunga yang
kugenggam tadi telah menghilang. Bahkan, aku tidak melihatnya di dalam bufet.
Dengan ragu, aku mendekati diriku
sendiri yang terduduk lesu sembari bercucuran air mata. Memandang bulu mataku
yang basah, bibir dan hidung yang
memerah. Aku menelan ludah berkali-kali, berharap diriku tak menyadari
kehadiranku. Nampaknya, memang aku kasat mata.
Kemudian, aku mendapati seseorang
sedang bersembunyi di balik dinding ruang tamu. Seorang lelaki. Di antara
keramaian rumah ini, ia berdiri mematung melihat ke arahku. Aku tak mengenal
siapa dia. Namun, dari caranya berpakaian, aku tahu dia bukan hendak berbela
sungkawa datang ke rumah ini.
Ia terlihat berbeda.
Detik berikutnya, aku terkejut
ketika kudapati pada genggaman tangan lelaki itu terdapat sebuah vas bunga yang
tadinya kugenggam. Kutautkan kedua alisku semakin tak mengerti. Terlebih lagi,
saat lelaki itu berjalan mendekati bufet dan hendak meletakkan vas tersebut ke
dalam bufet. Segera aku menghampirinya, dan ikut memegang vas bunga tersebut.
Lelaki itu terkejut, dan mendadak
tubuhku memanas. Lagi-lagi, aku tak sadarkan diri.
Ketika aku terbangun, aku sudah
berada di ruang tamu rumahku. Namun, keadaannya jauh berbeda. Jauh lebih bersih
dan terawat, dan juga terdapat foto-foto diriku yang mulai menua.
“Akhirnya, aku bisa bertemu
denganmu kembali,”seseorang bicara padaku. Dia adalah lelaki yang muncul di
rumahku lima tahun yang lalu, tahun 2010.
“Siapa kamu?”
“Suamimu.”
Aku terkejut. Kupikir dia
berbohong, namun ketika aku melihat salah satu potret pada salah satu dinding,
aku mulai kebingungan. Dalam potret tersebut ada fotoku yang mulai menua,
lelaki itu, dan seorang anak kecil.
“Aku sengaja meletakkan vas bunga
ini, ketika kau berumur 20 tahun. Atas permintaanmu.”
“Benarkah begitu?”
“Ya, kamu ingin menemui ayah dan
ibumu kembali ketika kamu kehilangan sepuluh tahun yang lalu.”
“Sepuluh tahun yang lalu?”
“Ya.”Dia berdeham. “Kamu sudah
tiada sebulan yang lalu. Sebelum kamu meninggal, kamu berpesan untuk menaruh
vas bunga itu ke tahun di mana orangtuamu meninggal.”
Terus terang aku terkejut. Tentu
saja, ini tidak masuk akal.
“Kamu menyesal, belum pernah
minta maaf atas perbuatanmu kepada kedua orangtuamu. Maka dari itu, kamu ingin
kembali ke masa lalu.”
Aku ingat, ketika kedua
orangtuaku meninggal. Sehari sebelumnya, kami bertengkar hebat. Dan, aku
berteriak pada mereka bahwa aku menyesal menjadi anak mereka.
Lelaki itu, yang menyebut sebagai
suamiku, menyerahkan vas bunga itu kepadaku. “Sekarang, kamu bisa kembali ke
masa sepuluh tahun lalu, sebelum kedua orangtuamu meninggal. Dan,
berbahagialah.”
Aku mengangguk, dan meraih vas
bunga tersebut.
Untuk ketiga kalinya, aku tak
sadarkan diri.
tentang kenanga, yang terbalut indah dalam aksara.
ReplyDelete