taken from link |
“Kau berbeda.”
Elvan berkata demikian ketika ia bertandang ke rumah.
Kala itu malam minggu. Dia baru saja pulang dari kantor dan menyempatkan diri
mampir ke rumahku untuk mengantarkan undangan pernikahan Selvie, teman kuliah
kami.
Ini pertemuan pertama kami setelah selama dua tahun tak
berjumpa maupun saling mengirim kabar. Lelaki di depanku itu adalah lelaki yang
mampu membuatku tergila-gila beberapa tahun yang lalu. Kini, aku merasa sudah
tak memiliki perasaan apa-apa terhadap lelaki itu. Namun, itu hanya pikiranku
saja.
“Berbeda dari segi mana?”Aku sibuk memainkan ponsel di
tanganku, tanpa berani menatap langsung ke arah Elvan. Detik sebelumnya, sempat
kulihat mata kecilnya sedang menitiku. Memerhatikan perubahan yang terjadi
terhadapku selama dua tahun terakhir.
“Entahlah. Kupikir kau terlihat lebih cantik.”
Aku menarik sudut-sudut bibirku. Tersenyum adalah salah
satu caraku untuk merespon lawan bicaraku. Bukan ucapan terima kasih atau
terkejut semacam itu. Hanya tersenyum yang sanggup kuberikan.
“Terlihat cantik bukan berarti cantik, bukan?”balasku.
Aku tertawa kecil. Entah, apa yang kutertawakan. Mungkin, miris menghadapi
kenyataan bahwa aku hanya terlihat cantik bukan benar-benar perempuan yang
cantik.
“Tapi, kau benar-benar terlihat cantik daripada terakhir
kali kita bertemu waktu itu.”Begitulah, Elvan. Dia bukan tipe lelaki yang suka
memberi pujian berlebihan pada perempuan atau mungkin dia bersikap begitu hanya
padaku. Mengingat dahulu dia pernah berkata penampilanku kampungan. Maka,
pujian atas diriku yang mengatakan aku cantik, mau tidak mau membuatku tersipu.
Tanpa kusadari, ucapan Elvan menjadi tolak ukur cantik
tidaknya diriku.
“An, kau tidak ingin mempunyai kekasih?” Terus terang,
pertanyaan Elvan membuatku terkejut. Sedikit menebak ke arah mana pembicaraan
lelaki itu. Sempat berpikir Elvan akan mengajakku untuk menjalin kasih, namun
buru-buru kusingkirkan perasaan itu. Beberapa menit yang lalu memang dia
berkata aku cantik, tetapi itu bukan berarti perasaannya terhadapku secepat itu
berubah, bukan?
“Entahlah,”aku mengangkat bahu. Memberikan jawaban
mengambang. Aku sendiri tidak tahu apa aku ingin mempunyai kekasih. Terakhir
kali, aku menginginkan itu dua tahun lalu. Dan, aku ingin Elvan yang menjadi
kekasihku.
“Dekat dengan seseorang?”Lagi-lagi, Elvan memberi
pertanyaan untuk memperjelas statusku. Mengorek informasi mengenaiku. Wajar
saja, kami sudah lama tidak berkomunikasi.
“Banyak,”jawabku setengah bercanda. Dia tertawa kecil
sembari ber-OH. Aku ikut tertawa kecil. Kemudian kami sama-sama diam. Dia
memandang entah ke mana dan aku lagi-lagi sibuk memainkan ponselku. Pikiranku
berkecamuk.
“Van,”panggilku. Dia menatapku. Membiarkan diriku
terkunci dengan pandangannya. Ragu-ragu aku membuka mulutku,”Aku minta maaf.”
Maaf untuk kesalahan yang pernah kuperbuat.
“Untuk apa?”
Aku tahu, Elvan tahu apa yang kumaksudkan. Mungkin, dia
hanya ingin memastikan.
Kubasahi bibirku. Wajahku menunduk memandang jemari kedua
tanganku yang saling beradu. Perasaan yang menghantuiku selama bertahun-tahun
tak semestinya kubiarkan mengabur begitu saja. Mungkin ini saatnya. Dimulai dari
kata maaf.
“Untuk semuanya.”kataku akhirnya. Aku bukanlah tipe
perempuan yang impulsif, namun untuk kali ini aku melakukan hal yang berbeda. Aku
merasa tidak akan ada kata lain waktu di antara kami. “Aku merasa telah
membuatmu membenciku. Lebih dari apapun, Van, aku menyesal.”
Menyesal telah terlalu ikut campur dalam hubungannya
dengan Rera, teman satu indekosku. Menyesal telah menelanjangi Elvan secara
diam-diam lewat jejaring sosialnya. Menyesal telah menjadi perempuan pengecut
yang hanya berani main belakang.
Elvan menarik sudut bibirnya. Jantungku berdegub menanti
respon yang akan diberikan oleh Elvan.
“Ya, aku memang sempat membencimu. Sangat membencimu,
malahan. Hanya saja, itu masa lalu. Sudah tak penting lagi.”Mungkin bagi Elvan,
itu hanya masa lalu dan sudah selesai. Namun, bagiku, belum ada kata selesai di
antara kami.
“Aku hanya tidak menyangka, kenapa kau berbuat demikian?”tanyanya.
Menyatakan kekesalanku terhadap Rera, mengatakan pada
gadis itu untuk tidak dekat dengan Elvan, dan membuat Elvan risih dengan
tingkahku di jejaring sosial. Perempuan awal dua puluhan yang menyedihkan. Berharap
Elvan berbalik mencintaiku tanpa aku memberikan perhatian khusus terhadapnya.
Berharap Elvan mengejarku tanpa memberi umpan.
“Cinta,”jawabku. Aku tersenyum kecut. Seharusnya, kata
itu terlontar sejak pertama kali kami dekat dahulu. Awal semester kuliah kami. Awal
dari kata itu muncul di dalam hatiku. “Tentu saja, itu alasannya.”
“Lalu, kenapa kau tidak pernah mengatakannya padaku?”tuntut
Elvan.
“Apa pantas perempuan menyatakan terlebih dahulu?”tanyaku
balik.
“Paling tidak, kau bisa berusaha menunjukkannya, An,”Elvan
menghela napas. “Terus terang, aku memiliki perasaan yang sama waktu itu. Tapi,
aku ragu.”seketika aku melihat ke arah Elvan, mencari kebohongan dalam matanya.
Namun, dia serius.
“Lalu, kenapa kau tidak mengatakannya?”
“Astaga, An! Apa kau lupa? Kau juga dekat dengan
sahabatku waktu itu,”ucap Elvan hampir berteriak. “Kau pikir mudah buatku
mendekati incaran sahabatku sendiri? Dan, kalau tidak salah Rendi juga sudah
menyatakan cintanya padamu.”
Ya, sahabat Elvan, Rendi, sudah menyatakan cintanya
padaku. Aku menolaknya, meskipun aku mau menjadi kekasih Rendi. Lelaki itu
sudah memiliki kekasih. Dan, setelah hubunganku usai dengan Rendi, aku mulai
dekat dengan Elvan. Kupikir, Elvan menyukaiku, namun sampai bertahun-tahun dia
tidak pernah menyatakan cintanya padaku. Kemudian, Elvan dekat dengan Rera
teman indekosku.
“Dan, ketika aku dekat dengan Rera, seharusnya kau lebih
berusaha untuk merobohkan keraguanku, An. Bukannya, malah bertindak kekanakan
dengan memarahi Rera dan membututiku melalui sosial media.”
“Apa yang bisa kuperbuat, Van? Menjadi perempuan manja dengan
berpura-pura ban motorku bocor agar kau membantuku?”kataku dengan emosi.
“Bicara, An. Ajak aku bicara,”balas Elvan.
Aku tersenyum kecut. “Untuk memandangmu saja aku sudah
kehilangan akal sehat, Van. Apalagi untuk bicara? Aku bukan tipe perempuan yang
pandai mengambil keadaan.”Aku frustasi. Mengingat setiap kali pertemuanku
dengan Elvan selalu saja ada yang salah.
“Kau ingat, waktu kau mengajakku ke kota waktu itu? Dan,
kita hanya berputar-putar tanpa tujuan? Sepulangnya kau, aku menangis, Van. Aku
menangis lantaran tak bisa menahanmu di sisiku lebih lama lagi. Aku menangis
karena tak bisa merebutmu dari Rera. Bahkan, kau sudah memberiku kesempatan
untuk itu berkali-kali,”aku menarik napas. “Aku menyesal.”
Elvan menyandarkan tubuhnya ke sandaran sofa. Kedua
tangannya bertumpu pada tangan sofa. Ia memandangku. Tanganku gemetar. Mengungkapkan
perasaan seperti ini membuatku gugup.
“Kupikir aku sudah mengenyahkanmu dari pikiranku, Van,”aku
tersenyum lemah. “Tapi, nyatanya, aku sekarang merasakan apa yang kurasakan dua
tahun lalu.”
“Terlambat, An,”ucap Elvan lemah. Dia terlihat ragu-ragu.
Elvan meraih undangan Selvie yang kuletakkan di atas meja. Ia menyerahkannya
kembali padaku. Mendadak perasaan takut menyerangku. “Aku ke sini, bukan hanya
untuk mengantarkan undangan Selvie.”
Dengan gemetar kuraih kembali undangan merah marun dari
tangan Elvan. Takut-takut aku membuka kertas undangan tersebut. Aku menelan
ludah. Dalam undangan tersebut bukan hanya tercetak nama Selvie, tetapi juga
nama Elvan.
Lagi-lagi, aku kehilangan Elvan yang sedari awal memang
tak pernah kumiliki.
Wulansari
Mojokerto, 28
Januari 2015
sesuatu :)
ReplyDelete