Kedua alisku bertaut, ketika memasuki kamar
kos yang kuhuni bersama sahabatku Alita. Kulihat Zoya sedang menangis dalam
pelukan Alita dan kulihat Miranda (sahabatku yang lain, yang sekamar dengan
Zoya) memasang wajah kusut ketika berpapasan denganku dipintu masuk kos.
Alita mengisyaratkanku untuk duduk disebelah mereka. Kudengar suara tangis Zoya semakin jadi. Pungungnya bergetar. Zoya berbalik melihat kearahku. Matanya sembab dan memerah.
“Randa, Wel.”ucapnya kurang jelas. Dia
terus terisak.”Aku nggak pernah ngerti cara berpikir anak itu!”tandasnya.”Dia
tega sama aku!”
“Kenapa dia?”tanyaku peduli. Alita masih
mengelus-elus rambut ikal Zoya untuk menenangkannya.
“Dia sering sms-an dengan Yoga!”jawab Alita.
“Cuma sms-an. Apa salahnya?”tanyaku.
“Pakai kata SAYANG!!”tandas Zoya. Dia
terisak kembali.”Dan, hari ini Yoga berbohong. Dia bilang pergi latihan basket.
Ternyata dia menjemput Randa!”
Aku mulai mengerti arah pembicaraan ini.
Aku jadi teringat tentang pembicaraanku dengan Miranda beberapa waktu yang
lalu.
“Yoga
tadi kesini, nyariin Zoya.”katanya. aku hanya berguman tidak terlalu
mengindahkan ceritanya.”Dan, kamu tahu, kan, Zoya sedang keluar dengan Rendi,
teman sekelas kita itu.”katanya lagi.”Sepertinya hubungan mereka sedang
bermasalah.”tambahnya lagi. Aku masih berkutat dengan kertas putih dengan
sebuah sketsa setengah jadi diatasnya.”Kamu dengar, kan?”
“Hmm…”jawabku. Aku sedikit bingung dengan model baju yang cocok
untuk acara Kak Rani, kakak sepupuku. Ya, aku lebih suka memakai baju
rancanganku sendiri ataupun yang kudapatkan dari internet.
“Yoga tadi sedikit cerita mengenai hubungannya dengan Zoya. Dia
bilang, sepertinya mereka akan putus. Pantas saja Zoya menanggapi Rendi.”
Saat itu, aku
tidak terlalu memperdulikan cerita Miranda. Dan, jika semua situasi ini
terjadi, tentu saja itu adalah alasan yang kuat. Miranda mengira Yoga dan Zoya
akan putus, pada kenyataannya mereka belum putus.
“Jangan terlalu curiga seperti
itu.”kataku.”Mungkin mereka hanya berteman. Seperti yang kau lakukan bersama
Rendi.”kataku terus terang. Kami berempat sudah kenal lama. Aku mengenal mereka
saat menjadi satu gugus dalam acara pengenalan kampus tiga tahun lalu. Untuk
berbicara jujur tentu sudah bukan jadi barang canggung untuk kami.
Zoya diam. Dia memanyunkan bibirnya.
Mungkin sedang berpikir kalimat apa yang dapat menyangkal pernyataanku.
“Tapi, Yoga pacarku!”tandasnya.
“Sudah kau tanyakan pada Miranda?”tanyaku
lagi.
“Zoya sudah bertanya. Dan Randa
mengiyakan.”jawab Alita.
“Kenapa kamu kesannya membela Randa, Wel?”protes
Zoya salah paham.”Kamu tidak pernah tahu, rasanya orang yang kamu cintai jalan
dengan sahabatmu sendiri sih!”
“Bukan begitu. Kita sudah saling mengenal
tiga tahun lamanya. Dan, kau baru mengenal Yoga enam bulan terakhir.”aku
memberi alasan. “Maksudku, pasti Miranda punya alasan tersendiri.”
“Tapi, dia mengiyakan.”
“Nah, itu kau tahu. Kalau dia memang ingin
merebut Yoga darimu, tidak mungkin dia jujur begitu.”balasku.
“Dia jujur karena aku sendiri yang
mempergoki mereka jalan berdua!”Zoya kembali terisak.
“Selama kau mengenal Miranda, apakah dia
pernah berbohong sama kamu?”
“Welan benar.”Alita membenarkan.”Randa tadi
ingin menjelaskan alasannya, tetapi kamu sudah membentaknya dan mengatainya
berkhianat.”dia mengelus kembali rambut Zoya.”Kamu seharusnya memberikan dia
waktu untuk menjelaskan.”
“Mungkin, ini hanya salah paham.”
“Mungkin, kita harus membuat perjanjian
untuk tidak mendekati pacar teman sendiri.”cetus Alita.
“Apalagi rencanamu, Lit?”tanyaku. Alita
perempuan yang memiliki segudang ide. Seringkali dia mencetuskan sesuatu yang
membuat kami kelimpungan.
“Ya, seharusnya memang kita tidak boleh
mendekati pacar ataupun gebetan teman kita. Ya. Kita ini sudah bersahabat cukup
lama, dan kurasa hal ini harus ditegaskan.”
“Aku setuju.”Zoya menghapus air
matanya.”Aku mau besok kita rapat.”
Aku mengerutkan alisku.”Rapat apa ini?”kedua
tanganku terangkat.”Kalian ini ada-ada saja.”
“Ini demi kebaikan bersama, Wel.”kata
Alita.
“Oke.”balasku.
“Miranda harus tahu.”Zoya merenggut.”Yoga
itu milikku!”
Ya, mungkin mereka benar. Kita harus
membuat perjanjian itu. Namun, seharusnya hal semacam itu tidak perlu dikatakan
ataupun dibuat sebuah perjanjian. Karena seharusnya memang seperti itu.
-Wulansari-
Surabaya, 07 Maret 2014
09:41
0 Comments:
Post a Comment
Komentar akan dimoderasi terlebih dahulu. Hanya memastikan semuanya terbaca :)
Usahakan berkomentar dengan Name/URL ya, biar bisa langsung BW balik saya ^^