Kubiarkan langit mengabu di ufuk
barat. Disertai guratan merah jingga dengan bulatan keemasan. Kicauan burung
kian menjauh dari telinga menyisakan suara jangkrik saling bersautan.
Senja
masih sama. Aku dan kamu pun masih sama. Duduk berdua dalam satu ruangan dengan
bau alkohol dan nikotin memenuhi rongga hidung. Hal yang selalu kita lakukan
dikala senja menyapa yang tak pernah terlewatkan seharipun.
Kamu
tertidur dengan posisi tengkurap. Begitu polos tanpa beban. Seakan duniamu
baik-baik saja meskipun pada kenyataannya kamu sedang menelan pil kehidupan
secara bulat-bulat. Aku tahu itu, meskipun kamu tidak pernah menceritakannya.
Karena
aku juga melakukan hal yang sama.
Sejak
aku melihatmu di kafe sore itu, dengan wajah kuyuh dan sebotol chivas tergeletak di meja. Aku tahu kamu
sedang ada masalah. Meskipun pada akhirnya kamu berdalih bahwa minuman itu
hanya sebagai perayaan temanmu yang naik pangkat. Aku tahu kamu berbohong.
Karena mata itu sama persis seperti mata yang kulihat di cermin rumahku setiap
hari.
Sejak
saat itu juga aku mulai mencicipi minuman yang setiap hari hanya kupegang
botolnya dan kuhirup aromanya. Seteguk. Aku mulai merasa air itu mengalir
dengan meninggalkan luka di tenggorokanku. Seteguk lagi. Aku mulai merasakan
air itu mengikat jiwaku dan membawa keringanan.
Jadi,
ini yang kamu rasakan?
Tidak
perlu menyingkirkan masalah yang tak terlupakan. Tidak perlu susah-susah untuk
mengusap air mata, karena air mata itu akan terhapuskan. Tidak perlu untuk
bersedih, karena yang ada hanya kehagatan dan kebahagiaan.
Sekarang
aku mengerti kenapa saat pertama kali kuketuk pintu kamar apartemenmu, kamu
dengan senang hati mempersilakanku masuk. Masuk kedalam duniamu, yang kini
menjadi duniaku juga.
Apa
karena aku membawa sebotol kenikmatan yang kuambil dari kafe secara diam-diam kesukaanmu, sehingga membuatmu luluh terhadapku? Apa kamu merasa kamu menemukan
seseorang yang sama denganmu seperti yang aku rasakan juga?
Awalnya,
kamu mengajariku cara melupakan. Meninggalkan masa lalu yang setahun terakhir
telah menggerogoti semangatku. Dan secara perlahan kamu menunjukkan bagaimana
cara menikmati hidup dengan tawa menderai tanpa memedulikan apapun.
Meskipun
aku tahu, mata dibalik kacamata milikmu selalu menatap dunia dengan kesedihan.
Aku
tahu dan aku mengerti karena kita memiliki mata yang sama.
Namun,
sejak bertemu denganmu aku sudah tidak mengenali mata sedih itu lagi. Tahukah
kamu? Mata itu kini berganti dengan keceriaan. Seakan cahaya matahari seluruh
dunia kini berada dalam kedua bola mata cokelat milikku.
Tetapi,
ada yang sakit dalam tubuh ini. Saat melihat mata orang yang membuat duniaku
lebih baik, masih menatap dunia dengan kesedihan meskipun bibirnya tak
henti-hentinya tersungging senyuman.
Hingga
aku memutuskan untuk mencari tahu arah matamu memandang hingga terlihat begitu
muram. Setiap hari aku selalu mengetuk apartmenmu, mencoba untuk jauh lebih
mengerti akan dirimu.
Seperti
saat ini, aku hanya bisa melihat wajahmu dan berharap ada kebahagiaan yang
tersisa dari wajahmu. Meskipun aku tidak bisa berharap lebih kamu akan bangun
dan menyadari arti ketukanku di pintu apartmenmu.
Menemanimu
minum, bercerita banyak hal, dan tertawa lepas. Tidak ada kesedihan.
Satu-satunya kesedihan yang tersisa hanya ada pada mata dan hatiku.
Hingga,
aku mengerti arti tatapan kosongmu. Karena tatapan matamu hanya tertuju pada
seorang perempuan. Kamu menyebutnya dengan nama gadis Natal. Karena menurutmu
hanya dialah perempuan yang bisa membuatmu menanti dan merindukan sosok
perempuan seperti kamu selalu menantikan dan merindukan hari natal.
Aku
dengar dari ceritamu dia adalah perempuan terhebat yang pernah kamu temui, yang
sanggup membuat bunga-bunga di hatimu bermekaran. Dia bagaikan air terjun yang
turun dari surga. Yang mampu membuat lelaki manapun bertekuk lutut hanya dengan
senyumannya. Dia bagaikan bidadari, katamu dengan wajah penuh cinta.
“Lalu,
kenapa kamu tidak menemuinya? Malah berdiam diri dengan bergelas-gelas
alkohol?”tanyaku waktu itu.
“Seperti
yang kukatakan tadi. Dia bagaikan bidadari. Karena dia memang menjadi
bidadari.”
Aku
hanya mematung sambil membungkam mulutku sendiri. Sebegitu besarnyakah cintamu,
hingga sampai sekarang kamu belum bisa melupakan dia. Bahkan setelah nyawanya
di renggut oleh kecelakaan itu?
Dan
setelah dia pergi kamu malah menenggelamkan hidupmu dalam minuman-minuman ini.
Sadarkah kamu telah berusaha untuk hidup kembali bersamanya dalam khayalanmu.
“Hanya
dengan ini aku merasa dia berada di dekatku. Sangat dekat.”
Sadarkah
kamu yang didekatmu saat ini adalah aku. Apakah kamu hanya menyadari
kehadiranku saat kita terbangun dipagi hari dengan pakaian berserakan dilantai?
Dan
apakah saat bibirmu itu menyentuh bibirku, yang ada dalam bayanganmu adalah
gadis Natal itu?
Tahukah
kamu setiap ketukan dipintu apartmenmu yang kuharapkan kamu bisa membangunkanmu
dari mimpi-mimpimu itu dan berbalik menatapku?
“Aku
mohon tataplah masa depanmu. Jangan hidup di masa lalu.”kataku di sela-sela
tegukan minuman yang kau sodorkan kepadaku.
“Siapa
bilang aku hidup di masa lalu? Kamu tidak lihat aku sedang menikmati hidup?”
Yang
kamu nikmati hanyalah masa lalumu. Satu-satunya hal yang membuatmu tetap merasa
hidup.
Kuelus
rambutmu dengan jari-jari tanganku. Mata kamu terbuka dan menyunggingkan sebuah
senyuman. Dengan satu tangkupan engkau merengkuhku dalam pelukanmu. Dan
mendaratkan bibirmu dibibirku penuh sayang. Hari-hari sebelumnya kamu tidak
pernah seperti ini. Apakah ini tandanya kamu telah menatapku dan menyadari
kehadiranku?
“Aku
mencintaimu,”kataku.
“Aku
juga mencintaimu, Dara.”
Aku
tersenyum tipis. Lalu, memunguti pakaianku dan sebuah name tag milikku yang bertuliskan nama Claudya Saraswati diatasnya.
Surabaya, 05 November 2013
15:55
nice short story :)
ReplyDeleteTerengkyu mas Agung :')
DeleteThis comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDeletedaebaakkkkkk....!!! bagus critanya..:)
ReplyDelete:D
Delete