Kugerakkan telunjuk jariku di permukaan kaca mobil yang berembun. Kutuliskan sebuah nama yang menjadi penghuni pikiranku saat ini. Dante. Kekasih yang kutinggalkan bersama kenangan kami dipulau dewata.
Beberapa kali lelaki paru baya
disebelahku mengelus lembut rambutku. Tapi, aku tidak menghiraukannya, dan
tetap bersandar di sofa mobil sambil memandang kearah luar jendela. Hujan masih
deras sejak kami memasuki mobil dari bandara tadi.
“Kamu mengambil keputusan yang
terbaik, Nak,”kata lelaki disebelahku dengan suara yang berat. Seketika itu,
mataku kabur bersama rintikan hujan yang terus menghantam mobil kami.
Dante seorang pria yang baik. Kami
bertemu di Jogjakarta, saat kami sama-sama liburan disana. Dan secara kebetulan
dia sedang kuliah di Surabaya, komunikasi kami semakin berlanjut, hingga kami
akhirnya berpacaran.
Sampai akhirnya, keluargaku
mengetahui bahwa kami berbeda agama. Perbedaan keyakinan yang sampai kapanpun
tidak akan bisa disatukan. Akhirnya, aku memilih untuk ikut Dante ke Pulau
Dewata, berharap keluarga Dante bisa menerima perbedaan kami. Tapi, kami
terlalu naif untuk hal ini. Seperti keluargaku, keluarga Dante juga melarang
hubungan kami.
Tidak ada yang bisa kami perbuat
selain memutuskan untuk berpisah seperti apa yang diharapkan oleh kedua
orangtua kami. Dan disinilah aku sekarang, pulang membawa kenangan indah
bersama Dante.
***
Bukan hal yang mudah buatku untuk
melupakan Dante, tapi bukan berarti aku harus terus menerus mengurung diriku
didalam kamar.
Kulangkahkan kakiku melewati pintu
rumahku, setelah beberapa hari aku tidak pernah sama sekali keluar rumah. Ada
seuntaian senyum dibibir Bunda saat mengetahui aku mendapatkan kembali
semangatku.
***
Nunuh sahabatku, memperkenalkanku
pada Niko, lewat bbm. Hampir setiap hari kami BBM-an, hingga kami memutuskan
untuk bertemu. Niko, cowok yang baik, dengan wajah oriental, berhidung mancung
dan bermata sipit.
Kian hari mengenal Niko, aku
mengetahui sifat-sifatnya dan masa lalunya. Dia pernah memiliki kekasih berbeda
agama, sama sepertiku. Aku semakin merasa cocok dengannya, disamping kami
sama-sama memiliki masa lalu yang sama, selain itu kami memiliki keyakinan yang
sama.
Seiring berjalannya waktu, aku
semakin mengerti akan sifat Niko, yang mungkin orang lain belum tentu
mengetahuinya. Karena dia mempercayakan kisah masa lalunya diketahui olehku.
Dia sering mabuk-mabukan dan aku dengan sukarela menemaninya bergadang meskipun
hanya lewat BBM.
“Aku masih mencintai dia, Ta,”ungkapnya
waktu kami berada dikamar kos-nya. Saat ini dia sedang mabuk berat. Bau alcohol
tercium saat dia berbicara.
Aku terdiam.
Kuelus bahunya lembut.
“Kenapa perbedaan Agama yang harus
memisahkan kami?”matanya memerah, menatap lurus kearahku. Hatiku nyeri seiring
dengan tangisannya.
“Udah, Nik. Ikhlasin aja. Mungkin kalian
memang tidak berjodoh,”aku menarik napas,”aku mengerti gimana jadi kamu.”karena aku sendiri mengalami hal yang sama
“Aku bakal bunuh siapa saja cowok
yang mendekati dia, Ta!!!”teriaknya.
Aku terlonjak. Melihat wajah Niko
menegang dan memerah. Memang beberapa hari yang lalu dia bercerita bahwa Yeni,
mantan kekasihnya, dekat dengan seorang cowok.
“Jangan begitu, Nik. Gak baik buat
Yeni dan kamu juga,”aku masih mencoba menenangkan Niko. Sesekali dia meneguk
minuman berwarna kekuningan terlihat seperti teh yang ada digelas.
Niko mengusap lembut rambutku.”Kamu
ngerti rasanya kan, Ta?”
Aku mengangguk. Kurasakan napas Niko
yang hangat berbaur dengan bau alkohol. Wajahnya semakin mendekat. Dikecupnya bibirku
sebentar. Aku terlonjak dan sedikit mendorongnya.
“Kamu cantik, Ta,”bisiknya lirih.
Aku tersenyum tipis. Niko kembali
menarik kepalaku untuk mendekat menciumku kembali. Dan aku merasa semua terasa
gelap, dan yang kutau selanjutnya aku terbangun diranjang milik Niko. Dan dia
sedang tertidur sambil memelukku.
***
Kusudaah
memberikan keperawananku kepada Niko. Aku tidak menyesali itu, karena kuyakin
Niko akan segera mencintaiku, dan melupakan Yeni mantannya.
Aku selalu berharap itu terjadi.
Dan semakin hari, keyakinanku
semakin memudar. Saat aku merasa Niko mulai menjauhiku. Seringkalii BBM-ku hanya
dibaca tanpa membalas, dibalas pun hanya sekedarnya dan singkat. Saat aku
telpon dia tidak mengangkatnya. Aku mulai khawatir, hingga kuputuskan untuk
menemuinya dikosnya.
Kuketuk dua kali pintu kamar kos
Niko. Tidak ada jawaban. Mungkin dia masih tidur, karena sekarang jam masih
menunjukkan pukul delapan pagi. Kucoba sekali lagi mengetuk pintunya, kali ini
terdengar sayup-sayup pintu terbuka.
Benar saja, Niko baru bangun. Matanya
masih setengah sadar, rambutnya acak-acakan. Aku tersenyum melihatnya.
Kami duduk dikursi panjang depan
kamar kosnya. Niko duduk sambil menguap beberapa kali, dia memakai kaos singlet
sehingga mempertontonkan lengannya yang berotot.
“Ada apa, kesini pagi-pagi?”tanyanya
tanpa melihat kearahku.
Aku menarik napasku, mencoba mencari
kalimat yang tepat untuk memulai percakapanku. Tetapi setelah mendengar
pertanyaan Niko dengan nada yang terdengar ketus, kuputuskan untuk langsung
kepokok masalah.
“Kenapa kamu menghindariku?”tanyaku
hati-hati. Nada bicaraku mulai bergetar.
“Lalu apa yang kamu inginkan?”
Kutautkan kedua alisku, mencoba
mencerna kalimat Niko barusan.
“Kamu kok jadi berubah gini?”
Niko terdiam.”Maaf, Ta,”ucapnya
kemudian,”jangan berharap lebih sama aku,”lanjutnya.
Hatiku bergetar. Mataku memanas, dan
telapak tanganku terasa dingin.”Setelah kejadian malam itu, kamu berbicara
seperti ini?”tanpa terasa setetes air mataku turun.
“Justru karena kejadian malam itu,
Ta, aku sadar. Aku gak bisa sama kamu,”tandasnya.
Kumulai terisak. Dadaku terasa
sangat sesak. Banyak sekali kalimat yang ingin kuucapkan tetapi tertahan
ditenggorokan. Semua terasa begitu memilukan.
“Aku tidak mau menyakiti kamu lebih
dalam lagi, Ta.”katanya lembut.
“Udah terlambat, Nik!! Kamu udah
nyakitin aku!!”teriakku sambil terisak.
Niko terlihat gusar. Dia berdiri dan
berjalan masuk kekamarnya.
Aku berdiri dan mengejarnya. Niko
berusah untuk menutup pintu kamarnya, tetapi aku berhasil mencegahnya. Kamarnya
terbuka. Aku terdiam menatap lurus kearah ranjang miliknya. Mulutku sedikit
terbuka, dan kututupi dengan tanganku. Pemandangan yang kulihat saat ini,
sungguh membuatku sakit. Seorang cewek sedang melihat kearahku, matanya
mengerjap-kerjap, mungkin dia terbangun karena sinar matahari masuk kedalam
kamar. Dia memegang seprei putih yang menutupi dadanya.
Cewek itu mirip dengan Yeni, mantan
kekasih Niko.
Aku mengangguk mengerti, dan segera
pergi meninggalkan tempat itu. Aku pergi membawa kesakitan yang teramat. Kumaki
diriku sendiri karena terlalu polos untuk mengenal Niko, terlalu mudah percaya
akan cowok seperti dia.
Dan kini semua sudah berakhir. Tidak
ada yang tersisa. Bayangan Dante kembali menyeruak kedalam memoriku.
0 Comments:
Post a Comment
Komentar akan dimoderasi terlebih dahulu. Hanya memastikan semuanya terbaca :)
Usahakan berkomentar dengan Name/URL ya, biar bisa langsung BW balik saya ^^