Warna
merah kekuningan itu menyambar-nyambar dipenjuru rumah. Hawa panas yang teramat
bisa dirasakan sampai kiloan meter. Menyengat. Seorang pria meraung-raung
dengan sedikit tetesan air mata. Dia terus berusaha melepaskan dirinya dari
cengkraman petugas berbaju oranye. Hingga dia merasakan lemas diseluruh
persendianya. Dia-pun tersungkur dan terlepas dari petugas itu.
Matanya menatap nanar kearah kobaran api yang
menghabiskan seluruh dunianya. Tidak ada yang bisa menolong kehidupannya. Hanya
ada beberapa petugas kebakaran yang bisa datang ketempatnya. Mereka tidak
sanggup menjinakkan si jago merah.
Kini, dia hanya bisa terduduk lemas dilantai. Tangannya
berpegang pada kedua lutunya. Hatinya bergetar menahan tangis. Baju tidurnya
yang mewah terlihat lusuh dan beberapa ujung lengannya terbakar. Kini, kobaran
api itu bisa dipadamkan. Akan tetapi, tidak ada yang bisa diselamatkan.
Peristiwa ini seperti sebuah potongan mimpi dikasur
mewahnya. Dia berusaha berkali-kali untuk bangun tapi nyatanya ini bukanlah
sebuah mimpi. Ini bukanlah sebuah mimpi buruk. Pada kenyataannya, saat dia
bangun nanti, dia akan mendapatkan kenyataan yang sama. Dia kehilangan
segalanya.
Dia berjalan terseok-seok. Langkahnya terasa berat. Saat
dia masih mengenakan kemeja biru dengan dasi hitam menghiasinya. Dia berjalan
dengan penuh percaya diri menatap mata setiap orang yang ditemuinya. Kini, dia
hanya bisa tertunduk menatap kabur kearah tanah.
Dia tidak sempat menyelamatkan apapun dari rumah
mewahnya. Yang tertinggal hanyalah baju tidur yang sedang ia kenakan. Malam
semakin larut, hawa panas yang ia rasakan tadi kini berganti dengan dingin yang
menusuk hingga ke ulu jantungnya. Tangannya masih bergetar.
Perjalanannya terasa panjang. Dia tidak mempunyai tujuan.
Tidak ada sanak saudara di Ibu Kota ini. Ia pun tidak bisa menghubungi rekan
kerjanya. Hingga ia harus berjalan menuju rumah rekan kerjanya yang terdekat
dari rumahnya.
Kini, dia berada didepan sebuah rumah dengan gerbang yang
bercat merah menyala. Rumah ini mewah, tapi tidak semewah rumah miliknya. Dia
memencet bel rumah itu berkali-kali. Tapi tidak ada yang keluar dari pintu
indah itu. Angin malam semakin menusuk-nusuk kulit arinya. Ia mendekap erat
tangannya sendiri. mencoba menghangatkan tubuhnya yang kurus.
Dia menghembuskan napas lega saat pintu dengan pegangan
marmer mewah itu terbuka. Seorang ibu paru baya dengan rambut disanggul,
berjalan terseok-seok menghampiri pintu gerbang. Wajah keriput dan uban yang
terkena lampu jalan mengingatkannya akan ibunya dikampung. Yang selama setahun
ini, belum pernah dia kunjungi. Hatinya teriris.
“Maaf Bu, Pak Darjo ada?”tanya pria itu dengan suara
serak.
“Itu anu..”ibu itu berbicara dengan terbata. Tangannya
memilin-milin ujung kebayanya, lalu menoleh kearah sebuah kamar yang masih
menyala. Gorden dari kamar itu bergerak, seperti baru ada yang mengintip.
“Ndoro Darjo sedang tidak ada dirumah. Beliau sedang berlibur ke Bali.” Ibu itu
menyelesaikan kalimatnya, dengan menelan ludah.
“Kalau Nyonya Darjo ada?” pria itu masih bersikeras untuk
menemui majikan rumah tersebut.
“Mereka berlibur sekeluarga.”ucap Ibu itu. “Permisi ya ,Pak!”
katanya kemudian dan pergi meninggalkan pria itu sendirian.
Pria itu hanya bisa tersenyum dan berbalik badan
meninggalkan rumah itu. Otaknya berpikir kemana dia akan pergi. Saat seperti
ini, dia mengingat keluarganya dikampung. Anak dan istrinya, yang selama
setahun belum pernah dia kunjungi. Hanya uang bulanan yang dia kirimkan untuk
keluarga dikampung. Bahkan, kini dia sudah beristri dengan seorang wanita
cantik, yang sebulan lalu meninggalkannya dengan pria lain.
Putra Wijanarko, seorang pengusaha muda yang sukses.
Tidak ada yang bisa menandingi kepiawaiannya dalam berbisnis. Lima tahun di
Jakarta untuk mengaduh nasib tidaklah sia-sia jika mengingat hasil yang dia
peroleh. Dan diapun berhasil menaklukan hati seorang wanita cantik anak dari
salah satu rekan kerjanya. Dia-pun menikahi gadis itu, tanpa meminta ijin
istrinya dikampung. Bahkan sampai sekarang istrinya belum mengetahui bahwa dia
memiliki istri lain di Jakarta.
Kekuasaan telah merubah sifat santun pria itu. Sifat
dasar yang dia pendam kini menyeruak dengan kekuasaan yang dia pegang.
Bawahannya tidak pernah ada yang membantah akan apa yang dia katakanya. Semua
pemikirannya adalah benar. Meskipun pada kenyataannya salah, dia harus
dibenarkan. Karena sifatnya yang egois, dia tidak mempunyai rekan kerja yang
benar-benar peduli akan dirinya. Mereka hanya bekerja untuk uang Putra.
Terlihat jelas dengan adanya musibah ini, tidak ada yang mau menolongnya.
Dia berhenti disebuah warung kecil dipinggir jalan. Ada
beberapa orang yang masih terjaga sambil bermain kartu. Tawa renyah beberapa
kali terdengar dari mereka. Mengingatkan akan kampungnya. Dia duduk dibangku
kayu panjang yang sedikit bergoyang saat diduduki. Dia tidak memesan apapun,
karena tidak ada sedikitpun uang yang dia pegang.
Mungkin dia belum kehilangan segalanya. Dia masih
mempunyai tabungan di bank. Tapi saat ini dia kehilangan orang yang peduli akan
dirinya.
“Mau minum apa , Pak?” tanya seorang pemilik warung
itu.”Bapak Putra?”
Putra mengerutkan dahi. Memicingkan matanya. Dia
memandangi pria yang berumur tiga puluhan dihadapannya. Seumuran dengannya.
“Kamu mengenal saya?”
“Ini saya Tara, Pak! Office
Boy dikantor Bapak!”
Putra mencoba mengingat-ingat wajah pria dihadapannya.
Ada banyak OB dikantornya, ia tidak yakin akan mengingat pria ini.
“Saya yang bapak pecat seminggu yang lalu, karena
menumpahkan kopi dibaju bapak!” kata pria itu sambil tersenyum. Hati Putra
bergetar. Dia mulai mengingat potongan kejadian seminggu lalu. Dia tidak pernah
ingat siapa saja bawahannya yang pernah dia pecat. Tapi kali ini dia ingat
karena pria dihadapannya ini benar-benar membuatnya kesal waktu itu.
“Bapak mau kopi atau teh?” lanjut Tara.
“Ah, tidak perlu. Saya..”belum selesai Putra berbicara
Tara sudah masuk kedalam bilik warungnya, dan keluar dengan segelas kopi hitam
yang masih mengepul.
“Silakan, Pak!”kata Tara sopan.
“Terima kasih.”Putra mengangguk. “Tara, maafkan saya,
atas perlakuan saya waktu itu.”
Tara tersenyum hormat.”Tidak apa-apa, Pak. Memang itu
kesalahan saya.”
Putra menceritakan musibah yang sedang dia alami. Dengan
senang hati Tara menawarkan untuknya menginap dirumahnya. Putra menolak, tidak
enak hati. Mengingat apa yang apa yang telah dia lakukan terhadap Tara.
Tara-pun meyakinkan pada dia, bahwa dia tidak mempermasalahkan akan hal itu.
Putra memasuki sebuah rumah kecil. Saat dia memasuki
rumah itu, dia melihat Tara disambut oleh kedua anaknya laki-lakinya, yang
langsung memeluknya. Tidak lama seorang wanita dengan menggendong seorang anak
perempuan yang masih kecil. Wanita itu menyambut kedatangan Tara dengan mencium
hormat tangan pria itu.
Tara menjelaskan pada istri dan anaknya bahwa dia akan
bermalam disini. Hati Putra terenyuh. Dia belum pernah merasakan kehangatan
dirumah mewahnya. Ditambah lagi dia belum mempunyai anak dari istri keduanya.
Wajah manis istri dan anaknya dikampung terngiang-ngiang
kembali dibenaknya.
Malam ini dia tidur diatas kasur yang berbeda jauh dari
kasur mewahnya. Kamar ini jauh dari kata nyaman. Tapi dia menemukan kedamaian
disini.
Wulan Sari
23 Januari 2013, pk 17.44
Surabaya
0 Comments:
Post a Comment
Komentar akan dimoderasi terlebih dahulu. Hanya memastikan semuanya terbaca :)
Usahakan berkomentar dengan Name/URL ya, biar bisa langsung BW balik saya ^^