Kalimat itu muncul dari bibir
tipisnya, seharusnya setiap wanita yang mendengarkan kalimat itu akan
berbunga-bunga, tanda dia bahagia. Mungkin jika kalimat itu terucap darinya tujuh bulan lalu, aku akan bahagia, seperti wanita kebanyakan. Akan tetapi, itu
adalah kalimat yang terlambat untuk diucapkan atau lebih tepatnya kalimat yang
tak pantas diucapkan oleh seorang pria yang sudah beristri.
Dia masih menatapku penuh
permohonan, memegang erat kedua tanganku. Aku menarik kedua tanganku. Dan meminum
habis jus jambu yang tinggal separuh di hadapanku.
“Kamu gila,” ucapku lirih.
“Please, De. Aku mencintaimu.”
“Hentikan omong kosong ini. Lebih
baik sekarang kita fokus dengan pekerjaan kita,” aku mulai muak dengan ucapan
pria di depanku. Aku memfokuskan diriku pada layar notebook-ku, mencoba
mengalihkan pembicaraan. Tak selang beberapa detik, dia menarik notebook-ku,
dan menaruh di depannya.
“Apa-apaan kamu ini?” tanyaku
marah.
“Aku masih jadi atasanmu, jadi
aku yang menentukan kapan waktunya kerja dan kapan waktu pribadi!!”ucapnya
gusar.
Aku cukup kesal. Mingguku yang
damai harus diganggu oleh pria ini. Dia menelponku pagi-pagi, dan menyuruhku
datang ke kafe saat itu juga, dengan alasan ada pekerjaan yang harus
dibicarakan. Nyatanya? Hanya omong kosong yang ada disini.
“Kamu tahu, De, wanita yang aku
cintai itu kamu. Bukan Rara,”ucapnya dengan nada frustasi.
“Lalu kenapa kamu menikahinya?
Bukan aku?” emosiku terpancing. Aku berusaha menahan air mata, yang aku yakin
tak lama lagi akan menetes.
“Kamu tahu sendiri alasannya, De.”
Pria dihadapanku ini adalah Kia,
mantan kekasihku. Ehm, lebih tepatnya mantan calon suamiku. Kami sudah
bertunangan, sampai wanita bernama Rara itu datang dan mengaku mengandung anak
Kia, aku tidak bisa berbuat apa-apa selain merelakan Kia menikahi mantan
kekasihnya itu.
“Apapun alasannya, kamu sudah menikah.
Dan sebentar lagi kamu akan menjadi seorang Ayah,” air mataku mengalir melewati
pipiku. Kia mencoba menghapusnya, tapi dengan cepat aku menepis tangannya.
“Sudahlah, lupakan aku.”
Kia tersenyum sinis.”Kamu menyuruhku
melupakan kamu. Lalu, bagaimana dengan kamu sendiri? Kamu sudah melupakan
kenangan kita?”
Aku terpojok. Bagaimana mungkin
aku melupakan Kia, dia seperti matahari yang selalu kurindu di setiap pagi. Dia
bagaikan candu dalam darahku. Sejak putusnya tunangan kami, aku menghindarinya.
Aku pergi keluar Jawa , agar aku tidak pernah mendengar berita bahagianya. Dan, kini, setelah
semua membaik aku harus bertemu di sini, sebagai atasanku.
“De, aku yakin anak yang
dikandung Rara bukan darah dagingku. Setelah anak itu lahir aku akan melakukan
tes DNA. Dan jika terbukti salah, aku akan menikahimu,” ucapnya penuh
keyakinan.
“Dan jika benar?”tanyaku sinis.
“Aku yakin dia bukan darah
dagingku,” dia masih bersikeras dengan ucapannya. Aku sudah muak dengan ini
semua, aku berdiri dan mengemasi barangku.
“Sudahlah, Ki. Kita mungkin tidak
berjodoh menjadi suami istri, tapi kita pasti jadi rekan kerja yang selaras.” Kataku
sambil meninggalkannya sendiri.
***
Sudah
sebulan ini Kia, tidak menggangguku dengan ucapannya yang konyol itu. Entalah,
ada rasa menyesak dalam dadaku. Akal sehatku menginginkan aku menjauhinya, tapi
hatiku berkata lain. Diam-diam aku berharap keajaiban terjadi, anak yang
dikandung Rara itu bukan anaknya, dan Kia akan menikahiku.
Tapi
kenyataan berkata lain. Aku mendengar bahwa anak yang dikandung Rara sudah
lahir, dan demi sebuah nama sopan santun aku dan rekan kerja lainnya datang menengok. Sesampainya di sana, istrinya melihatku dengan tatapan tidak suka. Wajar saja dia bersikap seperti itu dan aku menyesal telah datang.
Aku sempat berniat untuk diam-diam pergi dari kamar itu, tapi kuurungkan niatku
saat melihat bayi mungil yang digendong Kia.
Seorang
bayi perempuan dengan wajah yang sangat lugu. Meskipun dia masih bayi,
tapi sudah memancarkan kecantikannya. Mata yang dia warisi dari Kia dan bibir
diwarisinya dari Rara, tentunya, bukan aku. Aku melihat kebahagiaan
terpancarkan dari wajah Kia. Dengan dengan piyama yang masih dia kenakan sambil
menggendong bayi itu. Aku yakin Kia, tidak tidur demi menemani istrinya melahirkan.
Ada kekecewaan dalam hatiku, terngiang kalimat Kia yang mengatakan dia masih
mencintaiku, akan tetapi kini terlihat benar kebahagiaan itu diraut wajahnya.
Aku
cepat-cepat menepiskan perasaan itu. Salah seorang rekan kerjaku bertanya pada
Kia. Siapa nama bayi mungil itu.
“Andea
Wijaya Putri. Panggilannya, Dea,” jawab Kia, sambil menatapku.
Aku
keluar dari kamar itu dan duduk di depan kamar rawat inap itu. Tak kusangka Kia mengikutiku
dan duduk di sebelahku.
Kami
diam beberapa saat sampai aku membuka suara.
“Putrimu cantik,”
ucapku basa-basi tapi tidak berbohong.
“Terima Kasih,”
ucapnya. Kami terdiam lagi.”Aku memohon pada Rara, untuk memberi nama anak kami,
Dea. Rara sempat tidak setuju, tapi aku memohon padanya. Aku sudah tidak bisa
memilikimu, jadi aku ingin memiliki namamu pada putriku.”
Ada kekecewaan
dalam hatiku saat Kia menyebut putrinya ‘anak kami’, itu artinya dia tidak ada niatan
untuk menceraikan istrinya dan dia bisa menerima anak itu. Dan tes DNA yang
dia janjikan. Oh, bodoh sekali aku mengharapkan sesuatu yang tidak mungkin. Kia
waktu itu hanya asal bicara, karena dia belum melihat bayi mungil yang cantik
itu. Dan kini? Semuanya berbeda.
“Iya,” kataku
sambil beranjak dari kursi yang kududuki.”Saya harus pergi Pak Kia. Saya titip salam untuk
Bu Rara dan putri bapak,"kataku formal.
“De, maafkan
aku.”
Aku mengangguk
dan cepat-cepat pergi meninggalkannya, sebelum dia mengetahui air mataku.
0 Comments:
Post a Comment
Komentar akan dimoderasi terlebih dahulu. Hanya memastikan semuanya terbaca :)
Usahakan berkomentar dengan Name/URL ya, biar bisa langsung BW balik saya ^^