Perkenalkan, Etro. Kamera Mirrorless Pertama Saya - Tak pernah ada dalam bayangan
saya, saya akan memiliki Etro. Benda yang akan menemani hari-hari saya nantinya.
Seringkali, saya melihat kawan-kawan saya membawa kamera yang menggantung di
leher-leher mereka. Terlihat keren. Tapi, saya hanya mampu mengagumi sebatas
itu. Karena kebanyakan mereka lebih suka memotret model dan saya sama sekali
tidak tertarik.
Kemudian, saya diperkenalkan
dengan foto flat lay, oleh salah satu
teman blogger, yaitu Mak Pungky. Memang, sebelumnya saya sudah menyukai jenis
foto satu itu, meskipun saya belum tahu bagaimana cara menyebutnya. Melalui
blog milik Mak Pungky Prayitno itulah, saya mengenal foto flat lay. Kemudian, saya mencoba membuat foto serupa dengan kamera
ponsel dan merambah ke kamera poket.
Nampaknya, semakin hari saya
semakin tertarik dengan dunia fotografi, terlebih lagi untuk alasan yang lebih
melankolis. Bagi saya, foto flat lay itu lebih bisa bercerita ketimbang foto
model. Benda-benda ditata secara tak beraturan di atas alas foto, diambil dari
atas. Bagi saya, hal itu merupakan sesuatu yang memiliki cerita dan seni.
Rasa penasaran saya pun
berlanjut, sampai akhirnya saya ingin memiliki kamera lebih sekadar kamera
poket dan pilihan saya jatuh pada Etro, Fujifilm Xa2 berkelir silver-hitam.
Meet Etro?
Drama memiliki Etro tak hanya
ketika saya memutuskan untuk membeli Fujifilm Xm1. Tapi, jauuuhhh sebelum itu,
saya sudah pedekate dengan kamera
merek lain. Tentunya, masih sekitaran mirrorless.
Awal memutuskan untuk mempunyai
kamera, saya menjatuhkan pilihan pada Pentax Q10 atau Q7. Tentunya, karena
budget yang saya miliki waktu itu hanya sekitar 2jt saja. Itupun saya mencari
barang seken. Setelah menimbang-nimbang, cari informasi mengenai pentax jenis
itu, akhirnya saya memilih bersabar. Iya, saya memilih bersabar untuk tidak
membeli pentax terlebih dahulu.
Banyak alasan kenapa saya tidak
memilih pentax. Mulai dari body-nya yang terlalu kecil (padahal saya suka
modelnya yang retro, cocok menjadi kandidat Etro), sampai mengenai sensor
kamera atau apa waktu itu yang setara dengan kamera poket. Akhirnya, pentax pun
tereliminasi menjadi kandidat Etro.
Setelah memutuskan untuk tidak
memilih Pentax, saya beralih ke Olympuss. Olympuss yang saya pilih antara
Olympuss Epm1, Epl2, dan Ep3. Iyap, ketiga Olympuss tersebut memiliki kinerja
sama meskipun body berbeda. Ketiganya memiliki kekurangan masing-masing dan
kelebihan pula. Tentu saja, saya masih mencari-cari barang seken. Ingat, dana
belum mencukupi.
Setelah menimbang-nimbang,
mencari informasi mengenai Olympuss, hasil foto di Instagram dan lain-lain. Akhirnya,
saya memilih Olympuss Ep3. Tentunya, karena body Ep3 lebih retro, ketimbang
kedua saudaranya. Saya memutuskan memilih Ep3 karena setelah melihat seorang
cewek pakai kamera tersebut. Dikalungin di leher gitu. Cakep. Tapi jelas, Ep3
lebih mahal. Harga seken masih 3-4jt.
Dan percayalah, untuk memilih
sesuatu – padahal untuk diri sendiri – saya melibatkan orang lain. Komentar di
blog orang mengenai barang tersebut dan sangat sering sekali bertanya kepada
Mbak Tikha. Bahkan, saya sempat tanya pendapat Mak Pungky di blognya. Banyak
hal yang saya pertimbangkan, sampai akhirnya saya memilih Ep3 ini.
Lalu, kenapa sekarang justru meminang
Fujifilm, setelah pedekate dengan Olympuss selama berbulan-bulan?
Alasannya, karena setelah
bercerita dengan ortu, si lelaki melankolis melarang saya membeli barang seken.
Beliau akhirnya membantu saya untuk membeli kamera baru. Lalu, saya berpikir,
ada kesempatan bagus kenapa dilewatkan? Akhirnya, saya memutuskan membeli
Fujifilm, yang memang sudah jauh-jauh hari sudah tertarik dengan kamera satu
ini, karena body-nya.
Memilih Fujifilm pun tak langsung
memilih Fujifilm Xa2. Jadi kronologinya begini. Awal memutuskan membeli kamera
Fujifilm, saya memilih Fujifilm Xa2. Lalu, saya baca-baca sana sini, akhirnya
banyak yang menyarankan Fujifilm Xm1. Akhirnya, saya memutuskan memilih
Fujifilm Xm1 (jangan salah. Memilih tak semudah kamu membaca cerita ini).
Sayangnya, Fujifilm Xm1 satu ini sudah susah sekali didapat. Terlebih lagi,
karena saya ingin warna silver-hitam. Akhirnya, saya menemukannya di Dinomarket
dan berakhir drama tersebut. (baca
ceritanya di sini)
Dan, akhirnya saya memilih
Fujifilm Xa2, kembali ke awal. Bahkan, ketika saya transfer untuk membeli
kamera tersebut, saya tidak memikirkannya dua kali. Seakan-akan, yang saya
transfer itu bukan duit jutaan, tapi puluhan. Mau bagaimana lagi, saya sudah
teramat lelah memilih lagi. Saya sudah pasrah dan tak mau ambil pusing.
Lalu, setelah saya klik beli,
apakah tiga hari kemudian saya langsung bertemu dengan Etro? Tidak.
Drama lagi? Iya!
Ceritanya begini, hari di mana
Dinomarket me-refund dana saya. Saya langsung membeli calon Etro di Tokopedia. Saat
itu, saya tanyakan apakah ketika saya mentransfer hari itu, pesanan saya
langsung dikirim hari itu juga? Mereka menjawab, iya. Saya pun mentransfernya,
kira-kira jam satu siang. Dan, sampai besok pesanan saya belum dikirim.
Ternyata, baru dikirim sore besoknya. Ya, sudahlah.
Lalu, hari Sabtu kemarin saya ke
Surabaya, menginap di rumah teman. Status pengiriman Etro masih berada di
Jakarta. Itu berarti kemungkinan Senin besok baru sampai di rumah. Ternyata,
besok pagi (Minggu pagi) saya cek kembali, Etro sudah di Mojokerto! Ah, padahal
saya masih di Surabaya waktu itu. Saya berencana akan menjemput Etro langsung
ke JNE Pusat Mojokerto, sepulang dari Surabaya. Tapii, JNE Mojokerto tutup jam
tiga sore. Akhirnya, saya bersabar sampai besok pagi dan akan mengambil Etro ke
pusat.
Minggu malam, saya memberitahu
pihak JNE kalau barang saya tak usah diantar saya mau ambil sendiri. Esoknya,
saya dan lelaki melankolis ke Mojokerto, sekitar jam sembilan pagi. Saya
menulis nomor resi di atas kertas, kemudian ke konter pengambilan. Apa yang
terjadi? Barang saya sudah dibawa kurir!
Errrggh. Saya gondok sekali waktu
itu. Akhirnya, saya kembali bersabar dan menunggu di rumah.
Satu jam.
Dua jam.
Tiga jam.
Lima jam.
Saya mulai gelisah.
Sampai pukul lima, barang saya
tidak sampai rumah.
Saya gondok berlipat-lipat.
Dan, saya pun memutuskan untuk
kembali ke Mojokerto kota (FYI, saya di Mojokerto kabupaten. Jarak ke Mojokerto
kota membutuhkan waktu tiga puluh menit tanpa macet.). Nekad sekali ya? Iya.
Sudah ngebet pengen ketemu Etro!
Dengan tekad kuat dan dada
berdentum-dentum saya mengendarai motor. Dalam perjalanan, saya sudah berencana
untuk memaki-maki pihak JNE. Kalau-kalau ternyata barang saya masih dibawa
kurir (kali aja kurirnya belum balik). Saya sudah berencana akan bilang ini
itu.
Sesampainya di kantor JNE, saya
harus bersabar lagi. Drama masih berlanjut. Saya sampai di sana pukul enam
malam lebih lima belas menit dan itu waktu petugas JNE bagian pengambilan
istirahat. Tak tanggung-tanggung, istirahatnya satu jam. Akhirnya, saya
menunggu lagi. Lumayan, saya menunggu 45 menit.
Setelah 45 menit berlalu,
akhirnya saya bertemu dengan Etro.
Yippie!
Etro pun sudah saya ajak
jalan-jalan ke alun-alun Mojokerto kemarin. Dan, hasilnya memang sesuai dengan
harga. Xoxo. Agak terkejut saja sih, karena sebelumnya saya menggunakan poket.
Tahu sendiri, ketika memotret di malam hari tidak terlalu bagus. Eh, pakai Etro
ini kece badai. Saya benar-benar puas dan suka sekali dengan Etro. Selain
body-nya yang saya banget, tapi hasilnya juga oke. Bodoh amatlah soal sensor
x-tran atau bayer itu. Xoxo. Toh saya belum tahu perbedaannya di mana.
Foto candid siang hari, pakai mode potrait. |
saya lupa pakai settingan apa :D tapi hasilnya air di dalam botol keliatan jelas. |
mode potrait malam hari, penerangan pakai lampu ruangan saja. |
foto kucingnya jadi lebih hidup. Suka banget. Ini saya edit pakai potoscape. Saya kasih efek velvia. Jadi kayak ada efek biru-biru gitu ya |
sudah saya coba bikin foto flat lay juga. Tapi ya begitu deh, belum ahli. |
Foto pakai mode "malam" dan saya terangin dikit pakai photoscape. |
Yang terpenting, Etro bisa dipakai selfi :D Abaikan muka kucel dan rambut lepek. No edit. xoxo |
Yah, sekarang tinggal pedekate
lebih jauh dengan Etro, karena saya masih sangat buta. Kemarin sih, sudah minta
tolong sama Aya buat ajarin pake Etro. Asik!
Oke. Kalian akan sering membaca
atau melihat saya menyebut-nyebut Etro dan kinerja Etro akan sering muncul di
blog ini.
xoxo,
Wulan K.
Uhuy...saya belum di foto pakai etro
ReplyDeleteSelamaaaat.. ikut bahagia baca ini. Perjuangan buat punya kamera idaman emang gak gampaaang, apalagi soal duitnya. ihihihi
ReplyDeleteIkut seneng bangeeet liatnya :D
Hehe, thanks mak Pung! Maaf loh ya, namanya aku catut hihi :) :*
DeletePerjuangan banget ya. Tapi selamat ya, akhirnya perjuangan itu terbayarkan sudah. Hasil fotonya juga bagus. Huhu jadi pengen punya kamera juga :v
ReplyDeletehihih, drama banget ya, xixixi
ReplyDeleteasik akhirnya etro sudah nyampe.. btw jatuh cinta ama strapnyaa.. beli dimana mbaa
ReplyDeleteMacam mo ketemu jodoh ceritanya hihihi, aau jugaaa nih bingung mo beli apa. Beli nggak, beli nggak. Ujug2 malah buat beli emas duitnya buahahaha emas lageeee. Errrrr
ReplyDeleteKeren nih pakai mirorlesss. Poto2 makin kece
ReplyDeleteeh bagus bangeeetssss, pengeeeen.
ReplyDeleteMbak Wulan, aku pinjem kamerenya napa :D aku juga kepengen banget punya Fujifilm Xm1 itu. Kapan ya ? hehehe.
ReplyDeletesama, saya juga bersusah payah ndapetin kamera yg skrg, gimana caranya agar beli ndak pake duit. Wkwkkwkw, dannnn Allah maha baik. Kayaknya settingannya itu sedikit kurang mbak, coba disetting lagi, ungkin nampak bagus. Selamat ya mbak :*
ReplyDeleteBagus banget hasil fotonya. Dan aku mau bersabar dulu deh buat punya mirrorless karena pengen banget punya tanpa ngeluarin duit. :')
ReplyDeleteHmmm...ngecengin juga Fujifilm XT
ReplyDeleteBaca ini jadi tambah tertarik deh..